Sao Paulo - Masih terdengar nyaring nyanyian yel-yel, teriakan kesenangan, dan tangis kebahagiaan yang memekakkan telinga bagi siapa saja yang memasuki ruang ganti Chapecoense. Para pemain, pelatih, dan staf ketika itu larut dalam kebahagiaan setelah tim mereka dipastikan berlaga di final Copa Sudamericana 2016 (23/11/2016).
"Kita pergi ke final, kawan!" kata seorang pemain Chapecoense. "Kita akan menjadi raja Amerika Selatan!" ujar seorang lainnya menimpali.
Chapecoense melenggang ke final setelah menyingkirkan San Lorenzo dengan agregat 1-1, namun unggul aturan gol tandang. Lawan yang akan dihadapi di final adalah Aletico Nacional, klub asal Kolombia.
Kebahagiaan wajar saja tak terbendung karena Chapecoense berpeluang mencetak sejarah. Bagi orang-orang Eropa, final Copa Sudamericana di Amerika Selatan itu setara gengsi bermain di puncak Liga Europa.
Dengan format tandang kandang, maka Chapecoense diharuskan bermain di Atanasio Girardot Sports Complex, markas dari Atletico Nacional pada leg pertama, Rabu (30/11/2016). Pasukan Caio Junior memutuskan berangkat pada Senin (28/11/2016) atau dua hari sebelum dimulainya laga.
Rencananya, mereka akan transit lebih dulu di Bandara Internasional Viru Viru, Bolivia, sebelum melanjutkan penerbangan sejauh 2.972 km menuju Bandara Internasional Jose Maria Cordova, Medellin, Kolombia.
Kepergiaan mereka pun dilepas oleh Chairman klub, Plinio David de Nes Filho di Bandara Chapeco. Namun, Tuhan ternyata punya rencana lain karena pesawat LaMia Airlines dengan nomor penerbangan CP-2933 yang ditumpangi rombongan Chapecoense tak pernah mendarat di bandara tujuan.
"Kemarin pagi, saya mengucapkan selamat tinggal kepada semuanya. Mereka mengatakan ingin meraih dan mewujudkan impian. Akan tetapi, impian itu berakhir sekarang," kata Nel Filho kepada stasiun televisi Brasil, Globo.
Otoritas Penerbangan Kolombia mengonfirmasi pihaknya kehilangan kontak dengan pesawat yang ditumpangi skuat dan rombongan Chapecoense. Dengan berat hati, mereka mengumumkan pesawat tersebut jatuh di perbukitan daerah Cerro Gordo yang masuk wilayah La Union, Kolombia, pukul 22.15 waktu setempat.
Data manifest menyebut pesawat berjenis Avro RJ85 itu mengangkut 77 orang yang terdiri dari 22 pemain Chapecoense, 21 rombongan wartawan, sembilan awak kabin, dan sisanya adalah pelatih, staf, dan tamu undangan.
Total 71 orang dinyatakan tewas dalam tragedi tersebut dan enam di antaranya selamat. Dari enam penumpang yang selama, tiga merupakan pemain Chapecoense, yakni kiper Marcos Danilo, kiper Jackson Follmann, dan bek Alan Ruschel. Namun, Danilo akhirnya menghembuskan nafas terakhir ketika tiba di Rumah Sakit.
Dongeng Tragedi
Jauh sebelum Leicester City menggebrak dunia dengan mewujudkan dongeng sepak bola meraih gelar juara Premier League 2015-2016, Chapecoense sebenarnya sudah memiliki naskah kasarnya pada 2009. Dongeng tersebut ditulis Chapecoense setelah memulai kompetisi kelas empat sepak bola Brasil.
Klub yang berasal dari Chapeco, sebuah kota di bagian selatan Brasil itu, kemudian promosi ke Serie C untuk musim 2010. Hal itu terjadi setelah Chapecoense finis di peringkat ketiga Serie D.
Tak butuh waktu lama bagi Chapecoense untuk naik kasta lagi. Cukup tiga musim berlaga di Serie C, Chapecoense kemudian promosi ke Serie B pada 2013.
Pada musim tersebut, Chapecoense finis di urutan kedua dan berhak naik ke Serie A. Semua itu hanya terjadi selama lima musim, sesuatu yang sangat mengangumkan untuk klub yang baru terbentuk pada 1973.
Chapecoense semakin merebut hati masyarakat Brasil setelah melenggang ke final kompetisi kelas dua klub-klub Amerika Selatan. Namun, dongeng yang nyaris sempurna itu ternyata punya bab lain yang mengharuskan peralihan cerita suka cita ke duka.
"Chapecoense merupakan salah satu dari sebagian besar dongeng yang indah. Tak seperti cerita klub-klub besar Brasil lainnya, dongeng Chapecoense sangat sederhana tentang berlaga di Copa Sudimericana yang pelan-pelan merebut hati pecinta sepak bola Brasil" kata jurnalis olah raga asal Argentina, Martin Mazur kepada CNN.
"Chapecoense adalah dongeng Cinderella dari Amerika Selatan, tak ada yang meramalkan akan berakhir mengerikan," ucap Mazur.
Penghormatan Terakhir untuk Sang Juara
Senin, 28 November 2016, akan dikenang sebagai salah satu hari kelam di dunia sepak bola, khususnya Brasil. Sebab, hari ini mencatatkan sejarah duka yang menimpa Chapecoense. Total 22 pemain, pelatih dan para staf, menemui ajal setelah pesawat yang mereka tumpangi jatuh jelang laga final Copa Sudamericana 2016.
Atletico Nacional sebagai calon lawan Chapecoense di final, sejatinya sudah berhak sebagai pemenang. Namun, klub asal Kolombia itu telah mengajarkan jika sepak bola bukan soal menang kalah, gelar, dan kebahagiaan menjadi juara.
Bagi Atletico Nacional, arti sepak bola sesungguhnya mungkin diterjemahkan dengan cara menghargai lawan. Suka cita juara tentu tak akan bisa menandingi duka yang kini tak hanya dirasakan Chapecoense, melainkan seluruh dunia.
Dengan sikap ksatria, klub asuhan Reinaldo Rueda, meminta gelar Copa Sudamericana 2016 dianugerahkan kepada Chapecoense. Hal ini sekali lagi menjadi bukti jika trofi bukan segala-galanya dalam olah raga permainan antara 11 melawan 11 itu.
"Atletico Nacional meminta CONMEBOL menyerahkan gelar juara Copa Sudamericana 2016 kepada Chapecoense, karena musibah besar yang mereka alami dan sebagai penghormatan kepada mereka yang meninggal dunia dalam insiden tersebut," bunyi pernyataan klub.
Solidaritas pun muncul dari klub-klub di Brasil. Mereka mengganti foto di akun Twitter resmi klub dengan lambang dari Chapecoense. Bahkan, Corinthians tanpa berpikir panjang bersedia memberikan pinjaman pemain secara cuma-cuma untuk Chapecoense. Mereka juga meminta Konfederasi Sepak Bola Brasil untuk tak mendegradasi klub tersebut selama tiga musim ke depan.
"Klub mengumumkan langkah-langkah solidaritas untuk Chapecoense antara lain: (1) Memberikan pinjaman pemain gratis untuk musim 2017, (2) Permintaan formal kepada Konfederasi Sepak Bola Brasil agar Chapecoense tak turun ke Serie B selama tiga musim ke depan. Jika Chapecoense finis di posisi empat terbawah, maka tim di posisi ke-16 yang akan terdegradasi," bunyi pernyataan Corinthians.
Apa yang dilakukan dua klub tersebut adalah bukti nyata dari sisi lain sepak bola. Tak melulu soal rivalitas pertandingan dan gesekan di lapangan, sepak bola juga menjadi wadah paling sederhana untuk mengekspresikan sikap persatuan, hidup beriringan tanpa memandang apapun, serta sikap saling menghargai.
Chapecoense memang belum menyempurnakan dongeng soal sepak bola. Namun, tragedi ini jadi bukti Chapecoense telah menulis pesan sederhana soal rasa kemanusiaan dan persatuan penduduk bumi yang belum luntur. Inilah sepak bola, olah raga 11 melawan 11 yang didalamnya tak hanya sekedar adu kemampuan dan rivalitas.