Foto; Dok, Frans P/KM |
OPINI, KABARMAPEGAA.COM – Akhir-akhir ini masalah Papua menjadi perhatian masyarakat lokal, nasional dan internasional, bukan hanya karena Indonesia gagal membangun orang Papua melalui Otsus, tetapi juga karena sejarah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI/PORLI atas nama negara dan masih berulang kali terjadi di bumi Cendrawasih ini. Berbagai kasus kekerasan kemanusiaan yang belum diungkap. Yang sudah diungkap saja, diselesaikan dalam ketidakadilan hukum. Martabat dan harga diri orang Papua direndahkan oleh hukum Indonesia yang diskriminatif. Indonesia gagal membangun orang Papua.
Salah satunya rangkaian peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi, baik semasa orde baru maupun peristiwa yang terjadi semasa reformasi belum diselesaikan secara baik. Penyelesaian yang ada, misalnya kasus Pembunuhan Theys dan kasus Abepura Desember 2000 sangat mengecewakan masyarakat Papua. begitu pula dengan kasus-kasus lainnya, seperti kasus pembunuhan di Paniai, Dogiyai, Timika, Wasior dan Wamena hingga kini belum kelihatan hasilnya. Ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia telah menambah rasa kekecewaan masyarakat Papua terhadap pemerintah Indonesia.[1]
Provinsi Papua dan Papua Barat, yang merupakan wilayah paling timur Indonesia, secara etnis dan historis berbeda dengan wilayah Indonesia lainnya. Wilayah ini memiliki sumber daya alam yang berharga seperti emas, kayu, dan minyak. Provinsi-provinsi ini (dalam laporan ini disebut Tanah Papua) merupakan tempat yang terus diliputi konflik dan ketidakpuasan. Wilayah Papua bukanlah bagian dari Indonesia pada saat Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949. Belanda menyerahkan wilayah ini kepada Indonesia pada tahun 1962 sebagai hasil dari perjanjian yang ditangani PBB dengan syarat akan dijalankannya sebuah referendum sebelum tahun 1969. Namun disayangkan, sejak awal tahun 1960an sampai dengan saat ini, Tanah Papua telah menjadi tempat berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia, baik dalam konteks operasi militer menghadapi gerakan separatis bersenjata maupun tindakan terhadap pendukung kemerdekaan yang bergerak tanpa kekerasan.[2]
Papua merupakan salah satu dari banyak wilayah di Indonesia yang menuntut keadilan atas pelanggaran HAM masa lalu yang terjadi dalam skala luas, namun tidak pernah mendapat penyelesaian dari pemerintah. Rakyat Papua memiliki rasa curiga yang besar terhadap pemerintah sehingga mendorong hadirnya militer dengan kekuatan besar, yang cenderung meningkatkan ketegangan dan terjadinya pelanggaran baru. Besarnya kekayaan sumber daya alam melatarbelakangi tingginya kepentingan dan ketidakpuasan di Papua.
Laporan ini mengajukan dua elemen baru dalam pembahasan tentang Papua. Pertama adalah penggunaan kerangka keadilan transisi untuk meninjau sejarah Papua, termasuk undang-undang otonomi khusus dan prospek resolusi konflik ke depan. Kedua, laporan ini juga berisi pengakuan dari para korban mengenai pengalaman mereka di hari-hari awal kehadiran Indonesia di wilayah itu. Penelitian ini mengindikasikan bahwa luka yang mendalam dari pelanggaran masa lalu tetap belum terpulihkan dan menunjukkan perlunya upaya keadilan transisi secara komprehensif, termasuk pencarian kebenaran, pertanggungjawaban hukum, reparasi, reformasi institusi untuk mencegah terulangnya pelanggaran HAM, dan fokus pada hak-hak perempuan.[3]
Sejak saat itulah masyarakat Papua untuk pertama kalinya mengetahui Negara Indonesia lewat sepak terjang tentara-tentara Indonesia yang sangat tidak bersahabat bagi rakyat Papua. Bisa dikatakan bahwa kesan pertama rakyat Papua terhadap Indonesia adalah kekerasan dan kekejaman militer, bukannya sebuah negara yang santun, bertoleransi, dan menghormati kultur masyarakat.
Permasalahan di Papua yang terjadi selama ini telah berakibat serius terhadap kondisi hak asasi manusia di Papua. Situasi seperti ini tidak pernah di sikapi oleh pemerintah Indonesia secara bijaksana, tetapi malah sebaliknya menerapkan kebijakan-kebijakan instan secara sepihak yang makin menambah persoalan di Papua. Adanya perubahan status Papua ke pemerintahan otonomi khusus belum juga mampu menunjukkan perubahan yang signifikan. Ketidaksiapan pemerintah daerah dalam menjalankan otonomi khusus telah menimbulkan persoalan baru dalam generasi pelanggaran hak asasi manusia.[4]
Penyakit menular terus membawa dan tak terkendali, bencana kelaparan kerap terjadi, dan pemenuhan hak-hak dasar lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan, terus terlantar. Pemerintah daerah turut menjadi ancaman yang serius bagi pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia di Papua. Tidak terbukanya. Jakarta dan permainan politik elit lokal menambah runyam kondisi Papua. Kerusuhan massal dan bentrok massa kerap terjadi berkaitan dengan isu pemekaran wilayah Papua menjadi tiga provinsi. Sehingga kondisi Papua bukan semakin baik malah semakin pelik.
*) Penulis adalah Mahasiswa Papua
Sumber Referensi;
1.Laporan Komisi Penyidik Nasional Pembunuhan Theys Aluay (2002); Laporan Penyiksaan di Tiginambut, Puncak Jaya (2011).
2.Perjanjian antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda Mengenai New Guinea Barat (Irian Barat), 15 Agustus 1962 (ditandatangani di markas PBB di New York),
3.Lihat Laporan Komnas Perempuan, “Stop Sudah: Kesakian Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM 1963-2009,”
4.http://ift.tt/2qphOGh /Agreement%20between%20RI%20and%20Netherland.pdf.