Kehadiran Perusahan-perusahan Besar di Papua Mengakibakan Pelanggaran HAM

Foto: Dok, Prib, Frans P.KM
Oleh: Frans Pigai

ARTIKEL, KABARMAPEGAA.Com – Beroperasinya perusahaan-perusahaan besar di Papua tetap mengambil peran atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Eksploitasi besar-besaran, kerusakan lingkungan dan penyerobotan hak adat terus berlangsung. Tuntutan masyarakat atas perlakuan tidak adil dijawab dengan kehadiran aparat keamanan dan operasi-operasi penumpasan separatisme.

Sementara itu, berlakunya otonomi khusus belum menjadikan kondisi hak asasi manusia lebih baik dari sebelumnya. Ketidaksiapan pemda dan campur tangan pusat menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Sementara itu, dinamika politik local, praktik-praktik korupsi menjadikan Papua terus dalam keterpurukan. Sehingga berbagai bentuk hak ekonomi, sosial dan budaya terabaikan.

Penetrasi modal di Papua memberi warna bagi bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Di antaranya kehadiran perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang eksploitasi sumber daya alam. Dua tahun sebelum Pepera dilaksanakan, Pemerintah Indonesia telah memberikan ijin kepada PT Freeport Indonesia untuk mengeksploitasi tembaga dan emas di Papua. Freeport mulai beroperasi di Papua di saat status Papua belum resmi bergabung dengan NKRI atas dasar kontrak karya dengan Pemerintah Indonesia. 

Lokasi tambang Freeport sebenarnya merupakan tempat berburu dan hal-hal sakral lainnya bagi suku Amungme. Wilayah itu kemudian dijadikan kota perusahaan yang bernama Tembagapura. Sejak beroperasinya Freeport di wilayah itu, tujuh suku di sekitar areal tambang,[1] khususnya suku Amungme dan suku Kamoro, menjadi korban.

Aktivitas-aktivitas penebangan hutan tersebut sebagiandilakukan di wilayah hutan-hutan adat. Akibatnya menimbulkan konflik denganmasyarakat adat di sekitarnya. Terkadang, perusahaan-perusahaan yang memiliki ijin HPH kebanyakan tidak mengindahkan batas-batas wilayah HPH dengan hutan adat yangdikeramatkan dan tempat berburu. Selain itu, besaran ganti rugi sering lebih kecil dariyang diharapkan oleh masyarakat.[2] 

Kehadiran perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam Papua telah menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Baik itu berupa perampasan tanah, kehilangan akses ekonomi, kerusakan lingkungan maupun maupun pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat lainnya. 

Protes-protes masyarakat merupakan ancaman bagi keberlangsungan perusahaan-perusahaan di sana sehingga tenaga keamanan sangatdibutuhkan. Aparat keamanan dan perusahaan-perusahaan bersimbiosis untuk menghadapi perlawanan-perlawanan masyarakat Papua. Pos-pos pengamanan didirikan berdampingan dengan perusahaan. Bahkan, Perusahan-perusahaan besar di Papua menyediakan danakhusus untuk operasi-operasi pengamanan. Sementara itu, pos-pos militer dan polisisengaja ditempatkan lokasi konsesi, dan warga yang membuat ulah dituding sebagai separatis.[3] Gangguan keamanan melegitimasi penempatan-penempatan sejumlah pasukan di areal-areal eksploitasi.

Oleh karena iu, akibatnya, kekerasan-kekerasan di Papua terjadi pula atas dukungan perusahaan-perusahaan besar di Papua. Protes-protes masyarakat terhadap perlakukan perusahaan dihadapi dengan operasi militer, bahkan protes masyarakat dianggap sebagai bagian dari gerakan separatisme. Sehingga kekerasan, intimidasi, penculikan, pembunuhan danbentuk- bentuk pelanggaran hak asasi manusia kerap dialami bagi mereka yang menuntut keadilan kepada perusahaan.

*) Penulis adalah Mahasiswa Papua

Sumber;

[1] Ketujuh suku itu adalah Amungme, Kamoro, Nduga, Ekari/Mee, Lani, Damal, dan Moni.

[2] Lihat: Laporan ICG Asia, hlm 17

[3] Lihat: Ibid hlm 17

Subscribe to receive free email updates: