Salah satu Insiden Penembakan yang Terjadi di Oneibo, Kab. Deiyai sebagai pelanggaran HAM Berat (Foto: Dok, Korban-KM) |
Oleh: Carla Makay Assem
ARTIKEL, KABARMAPEGAA.Com – Peristiwa penembakan yang terjadi pada tanggal, 01 agustus 2017 di Oneibo Kab. Deiyai menjadi bukti bahwa penjajahan kolonialisme Indonesia atas Papua masih terjadi. Pasalnya tragedy ini bukan hanya yang pertama terjadi di Papua tapi sudah kesekian kali aparat gabungan TNI dan POLRI melakukan kekerasan di atas tanah Papua. Sebut saja pada tanggal 07-08 september 2014 di enarotali kab.paniai terjadi penembakan oleh aparat gabungan TNI dan POLRI yang menewaskan 3 orang pelajar SMU dan 10 orang lainnya luka parah.
Disusul lagi pada tanggal 26 Juni 2016 di Ugapuya Kab.Deiyai terjadi serangan senjata oleh aparat TNI terhadap sekelompok anak muda yang terjadi pada malam hari. Kejadian ini menewaskan 1 orang pemuda dan 1 orang lainnya luka parah bekas tusukan sangkur di lengan kirinya.
Tidak hanya ampai disitu saja, pada tanggal 17 Juli 2015 di Bilogai Kab.Intan Jaya terjadi penyerangan yang dilakukan oleh 6 orang anggota Brimob terhadap seorang pemuda. Pemuda ini dianiaya dan ditembak di bagian kakinya.
Setelah itu pada tanggal, 17 Juli 2015 di Kab. Tolikara, selain terjadi pembakaran Musola ada juga korban penembakan yang menewaskan 1 orang dan 9 orang lainnya luka parah, pelaukannya juga aparat keamanan TNI dan POLRI. Terbakarnya musola sudah ditangani hingga tuntas namun kasus penembakan rupanya sudah diplesetkan.
Lanjut lagi, pada tanggal 28 agustus 2015 di Koperapoka Timika Kab. Mimika. Dengan senjata api di tangan layaknya jagoan di film, anggota tentara masuk ke halaman ke gereja dan menodongkan senjatanya kepada warga sipil. Sesudah itu menembak secara membabi buta hingga akhirnya menewaskan 2 orang dan mencederai 5 orang lainnya.
Dan masih banyak lagi kasus penembakan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap warga sipil di papua. Sayangnya dari banyak kasus yang terjadi sepertinya pemerintah hanya menutup mata dan tidak mampu menyelesaikan kasus-kasus diatas hingga tuntas. Aparat keamanan hanya mampu melakukan Permohonan maaf dan dialog bersama. Tetapi sayangnya tak akan membawa perubahan--Penjajahan: pembunuhan, rasisme, intimidasi, akan terus berlanjut--seperti apa yang dilakukan oleh Kapolda Papua Irjen Boy Rafli Amar (04/08) kepada korban dan keluarga korban.
Dengan kasus-kasus kekerasan serupa yang terjadi terus manerus di tanah papua meninggalkan kesan buruk terhadap masyarakat papua bahwa aparat keamanan dalam hal ini TNI dan POLRI adalah pembunuh berdarah dingin.
Secara eksternal, masyarakat Indonesia pada umumnya mengetahui bahwa perlakuan Indonesia terhadap Papua sama dengan daerah lainnya. Apalagi setelah melihat di TV bahwa sejak Jokowi menjabat Papua semakin maju. Rakyat Indonesia yang masih awam mengetahui bahwa papua saat ini Aman, Nyaman, dan Tentram karena saat ini media massa abal-abalan Indonesia sedang hangat-hangatnya membicarakan pembangunan Bandara di Papua, pembangunan jalan trans wamena dan trans sorong-manokwari, kemudian pembangunan rute kereta api, dan kehebatan Jokowi saat mengendarai Motor trail, dan lain sebagainya. Namun kenyataannya, mereka tidak tahu bahwa dibawah kendali aparat keamanan TNI dan POLRI penjajahan masih terjadi terus menerus ditanah Papua.
Di Papua, seluruh program pembangunan diklaim atas nama menyejahterakan orang asli Papua. Namun, kendati saat ini Papua menjadi tempat beroperasinya tidak kurang dari 240 izin tambang, 79 izin HPH raksasa, 85 izin perkebunan sawit, Papua tetap menjadi provinsi termiskin dari tahun ke tahun.
Pembangunan infrastruktur dan industri baru serta operasi keamanan oleh pemerintahan Jokowi, kendati dibungkus dalam kehendak membuka isolasi Papua dan memakai pendekatan antropologi, secara terang-benderang bertujuan untuk memfasilitasi operasi dari berbagai korporasi milik oligarki pebisnis-politisi Indonesia Raya beserta mitra trans-nasional mereka.
Pada saat ini Pembangunan pangkalan militer terus dilakukan di seluruh Papua demi memperlebar luas kejahatan kemanusia dan alam seperti kasus Deiyai berdarah dan histori operasi militer lainnya yang akan terjadi secara berkesinambungan untuk menguasai semua sektor kehidupan rakyat Papua.
Pengalihan isu yang dilakukan dengan pembakaran kios di Wagete bertujuan untuk meloloskan kasus kejahatan deiyai berdarah saat ini serta menjaga kepentingan militernya dengan memperkuat basis kekuatan militer yang lebih lagi dengan alasan situasi daerah yang masih rawan dan perlu pengamanan yang lebih extra hingga akhirnya mempersempit raung gerak rakyat. (Muyepimo/KM)
Penulis adalah Mahasiswi Papua, Pemerhati Pelanggaran HAM di Tanah Papua