RAGAMSPORTS, DICURANGI dan diprovokasi memang tak pernah enak rasanya. Dijahatin, lebih-lebih lagi. Namun, menyimpan amarah dan dendam, bukan pilihan bijak juga rasanya. Lalu, harus bagaimana?
Biar terasa lebih bijak, kita perlu juga introspeksi sepertinya. Jangan-jangan, panas-dingin hubungan Indonesia dan Malaysia juga punya faktor pemicu dari kita sendiri.
Meski tak tahu niat di balik pencetakan gambar bendera Indonesia yang terbalik di Malaysia, jangan-jangan persoalannya adalah kita sudah ditakar bakal gampang terprovokasi?
Nah, mari kita cek datanya. Sama-sama soal olahraga dulu, SEA Games dan Asian Games, misalnya. Jangan-jangan, kita juga hanya mengungguli Malaysia kalau main di negeri sendiri?
Jangan-jangan ya, kita memang bangsa yang gampang diprovokasi, lalu emosi, dan ujung-ujungnya malah kalah?
Dominan di SEA Games, terjerembab di level Asia
Dari 28 SEA Games yang pernah berlangsung—belum menghitung hajatan yang sekarang masih berjalan di Kuala Lumpur—Indonesia pernah 10 kali menjadi juara umum. Sebaliknya, Malaysia tercatat baru satu kali menjadi juara umum SEA Games.
Sebagai catatan, Indonesia baru mengikuti 20 di antara 28 hajatan itu—lagi-lagi di luar yang sekarang sedang berlangsung—sejak 1977. Adapun Malaysia mengikuti ke-28 ajang tersebut.
Merujuk data tersebut, Malaysia menjadi juara umum saat menjadi tuan rumah. Tepatnya, dari SEA Games XXI pada 2001.
Adapun Indonesia, tak cuma jadi juara umum ketika hajatan dua tahunan tersebut berlangsung di sini. Rinciannya, empat gelar juara umum didapat di Indonesia dan tiga yang lain di luar Indonesia—termasuk di Kuala Lumpur dalam SEA Games XV pada 1989.
Lalu, bagaimana dengan posisi Indonesia dan Malaysia di klasemen dalam 17 SEA Games yang lain?
SEA Games baru menjadi nama ajang pertandingan olahraga antar-negara-negara di Asia Tenggara mulai 1977. Ajang ini merupakan kelanjutan dari Southeast Asian Peninsular Games. Indonesia belum bergabung ketika hajatan itu masih menggunakan nama lama.
Hitungan untuk perbandingan posisi Indonesia dan Malaysia saat sama-sama tak jadi juara umum pun susut lagi menjadi 9 SEA Games. Dari 9 ajang itu, Malaysia hanya dua kali mengungguli peringkat Indonesia dalam klasemen SEA Games.
Kalau data SEA Games masih terlalu sempit buat perbandingan prestasi olahraga Indonesia dan Malaysia, masih ada data Asian Games. Kompetisi yang ini diikuti lebih banyak negara. Kondisinya lebih bisa terbaca juga di sini.
Indonesia mengikuti 16 dari 17 ajang olahraga tingkat Asia yang berlangsung sejak 1951 itu, sementara Malaysia 15 kali. Di sini, Indonesia mengumpulkan 407 medali, yaitu 87 medali emas, 117 medali perak, dan 203 medali perunggul.
Adapun Malaysia, meraup 243 medali, yaitu 51 medali emas, 74 medali perak, dan 118 medali perunggu.
Nah, jangan-jangan, Malaysia terasa hobi memprovokasi kita memang karena itu cara untuk bisa menjinakkan mental juang kontingen dan bangsa Indonesia? Siapa tahu....
Nasionalis atau reaktif?
Sejumlah respons netizen ketika Kompas.com dan beberapa media lain menulis soal insiden gambar bendera merah putih terbalik menyinggung soal nasionalisme. Banyak komentar yang muncul menyebut dugaan kesengajaan provokasi Malaysia.
Dari situ, seruan-seruan mencerca sampai menghidupkan lagi frasa “ganyang Malaysia” muncul di sana-sini. Berbarengan, dugaan kecurangan wasit pun “memakan korban” dengan laku walkout tim sepak takraw putri Indonesia saat berhadapan dengan tim Malaysia.
Sementara itu, seorang netizen yang mengaku tinggal di Malaysia bilang, orang-orang Malaysia cekikikan melihat reaksi orang Indonesia atas sejumlah insiden panas-dingin antara Indonesia-Malaysia ini.
Jangan-jangan, reaksi Indonesia malah menyenangkan dan mendatangkan manfaat bagi Malaysia—entah mereka memang berniat provokasi atau tidak?
Sejumlah riset di mancanegara mendapati, sikap reaktif menyikapi tindakan atau perkataan yang terasa sebagai provokasi justru akan merugikan si perespon.
Riset-riset itu menengarai, ada masalah dengan keyakinan diri, level stres, dan kekurangan kemampuan yang tercermin dan sekaligus terdampak oleh reaksi-reaksi reaktif yang sampai memunculkan makian.
Tengok misalnya artikel Louise Tickle di Guardian yang berjudul “Research demonstrates how the use of bad language can alter our behaviour”. Artikel yang dilansir pada 2011 ini menyitir riset Jeff Bowers dari dari University of Bristol.
Salah satu poin hasil riset menyatakan, respons reaktif yang antara lain ditunjukkan dari pilihan kata makian, justru membuat si perespon jadi naik level stress-nya. Akibatnya, cara berpikir dan tindakan selanjutnya pun ikut terdampak oleh kadar stres tersebut.
Jangan buru-buru tidak terima dulu. Artikel lain yang ditulis Melanie Greenberg di situs web pshychologytoday.com memberikan perspektif lain untuk merespons kalem situasi kompetitif seperti dalam panas-dingin hubungan Indonesia-Malaysia.
Greenberg memang mengambil kasus situasi berhadapan dengan orang berkarakter kompetitif. Namun, konteksnya terasa sama. Ada kompetisi dua pihak yang menghasilkan respons dan konsekuensi atas itu.
Tak perlu kontraproduktif
Di ujung artikel, Greenberg memberikan tips umum yang sepertinya bisa diterapkan buat kondisi bangsa Indonesia. Menurut dia, ada baiknya dicek ulang latar belakang situasi kompetitif ini.
Satu hal yang dia garisbawahi, jangan sampai apa pun alasan situasi kompetitif ini memunculkan reaksi negatif kita yang ujung-ujungnya malah kontraproduktif bahkan merugikan.
Ibarat kata, jangan sampai sudah marah-marah, kalah pula. Apa kata dunia?
Mending, misalnya, pastikan penyelenggaraan Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang berlangsung lebih baik daripada semua event yang digelar di Malaysia. Yang dekat, boleh juga kalau dipastikan atlet-atlet kita punya mental kuat dan berkemampuan hebat sehingga jadi juara.
Lalu, kenapa enggak buka lapangan kerja yang banyak dengan gaji bagus biar tak ada lagi perlunya kirim pekerja kita untuk gawean kasar di Malaysia? Perbagus juga sistem dan kualitas pendidikan juga perlu disebut sepertinya ya.
Kalau sudah begitu, mau seperti apa provokasi yang mungkin datang lagi, kita bisa tetap cool alias kalem-kalem saja, bukan?