News Internasional, HAMPIR 150.000 warga Rohingya telah meninggalkan negara bagian Rakhine, Myanmar, untuk menyelamatkan diri dari kekerasan senjata di sana.
Banyak dari mereka berkisah tentang pembunuhan, pemerkosaan, dan bahkan pembantaian.
Di lepas pantai selatan Banglades, deretan kapal nelayan berbentuk melengkung bagai sabit bergerak mendekati pantai, menentang angin kencang yang berbahaya.
Saat mereka mendekat, tampak jelas, perahu-perahu itu sarat dengan manusia. Perempuan di lantai perahu, sebagian bersama anak-anak, kaum laki-laki dewasa berjejer di tepi perahu.
Inilah kapal bermuatan kaum Muslim Rohingya, yang melarikan diri dari negara bagian Rakhine.
Warga Banglades di kampung itu berkumpul di tepi pantai dengan resah. "Lewat sini, ke sini!" teriak mereka sambil menuntun perahu ke perairan dangkal.
Begitu menyentuh garis pantai dekat Shamlapur itu, sejumlah pria melompat. Para wanita dan anak-anak dibantu turun. Ada pasangan yang hampir jatuh saat kaki mereka tersandung.
Rute langsung melintasi sungai Naf tidak dapat diakses lagi. Pihak berwenang Banglades telah menutup jalur itu.
Penutupan dilakukan untuk mencegah kedatangan kaum Rohingya dari arah itu setelah beberapa orang minoritas Muslim Myanmar itu tenggelam dalam upaya mereka menyeberangi perbatasan.
Jadi, mereka mengambil jalan memutar, menuju ke laut terlebih dahulu sebelum kembali.
Sebuah perjalanan yang harusnya memakan waktu kurang dari satu jam jadi harus menempuh sekitar enam sampai delapan.
Saat orang-orang Rohingya itu mencapai pantai, mereka langsung ambruk bertumpang tindih. Banyak yang terlihat linglung dan bingung setelah menempuh pelayaran.
Yang lainnya tampak mengalami dehidrasi, beberapa muntah-muntah. Ada pula, juga kaum pria, yang kemudian terisak tak terkendali, mereka terengah-engah.
Mereka seakan tidak percaya bahwa mereka hidup. Yang lain dipinjami telepon genggam oleh penduduk setempat sehingga mereka bisa menelpon keluarga trcinta dan mengabarkan keberhasilan mereka mencapai Banglades.
Pengungsi Rohingya berjalan menuju pantai dengan harta benda mereka setelah menyebrangi perbatasan Bangladesh-Myanmar menggunakan perahu melalui Teluk Benggala di Teknaf, Bangldesh, Selasa (5/9).
Seorang perempuan paruh baya, yang berpakaian hitam, menatap cakrawala dengan cemas, dengan tangan melindungi matanya.
Rohima Khatun sedang menunggu adiknya. Hampir dua pekan sebelumnya, desa mereka di distrik Maungdaw Myanmar diserang.
Mereka dengan terburu-buru lari menyelamatkan diri, lalu terpisah. Dia berhasil menyeberang ke Banglades, dan datang ke tepi pantai setiap hari, berharap saudaranya Nabi Hasan ada di antara ratusan orang yang datang melalui laut.
Saat kapal keempat mencapai pantai, dia menjerit dan mulai berlari. Seorang pemuda terpincang-pincang di seberang pantai dan keduanya kemudian berangkulan, dengan tersedu-sedu.
"Ya Allah, ya Allah," gumamnya terus-menerus, bergerak ke depan dan ke belakang.
"Saya tidak menyangka akan melihat kamu lagi," kata Nabi Hasan sambil menyeka air mata kakak perempuannya.
"Desa kami diserang oleh militer," kata mereka, "juga oleh Mogs," katanya merujuk pada komunitas etnis Buddhis yang tinggal di Rakhine.
"Kami berdua adalah satu-satunya di antara 10 anggota keluarga kami yang selamat," kata mereka.
Saya menghampiri orang-orang lain di sekitar kelompok itu dan mendapatkan berbagai kesaksian serupa.
Dil Bahar, prempuan berusia enam puluhan, terisak tak terkendali. Suaminya, Zakir Mamun, pria ringkih berjenggot tipis, berdiri di belakangnya.
Seorang anak laki-laki remaja bersama mereka, lengannya terbungkus balut buatan sendiri.
Wajahnya menyeringai kesakitan.
"Dia cucuku, Mahbub," kata Dil Bahar. "Dia ditembak pada lengannya." "Ini pembantaian," bisik Zakir Mamun, menatap kami.
Desa mereka berada di Buthidaung, sekitar 50km dari perbatasan Banglades. Serangan tersebut tampaknya terjadi tanpa peringatan apapun.
"Mereka datang menyasar kami," kata Zakir pada saya. "Melalui pengera suara, militr memerintahkan kami masuk rumah. Kemudian militer dan orang-orang melemparkan bom ke rumah kami, membakarnya."
Mereka mengatakan bahwa ketika warga desa mencoba untuk pergi, para penyerang melepaskan tembakan.
"Orang-orang jatuh terjerembab terkena tembakan," kata Zakir. "Kami berlari ke gunung dan bersembunyi." Tapi anaknya, ayah Mahbub, terbunuh.
"Sepanjang malam kami bisa mendengar mereka menembaki, 'roket-roket' berlesatan," kata Zakir.
Keesokan paginya, mereka melihat desa mereka tinggal puing. Asap membumbung dari rumah-rumah yang membara. "Semuanya musnah," katanya.
Warga berpartisipasi dalam sebuah reli mendukung muslim Rohingya menyusul kekerasan yang baru terjadi di Myanmar, di ibukota Chechen Grozny, Rusia, Senin (4/9/2017).
Keluarga tersebut mengumpulkan berbagai peralatan yang tidak hancur, mengumpulkan padi yang tertingal lalu pergi.
Mereka berjalan kaki selama 12 hari, melintasi dua gunung dan menembus hutan-hutan.
"Nasi kami habis pada hari kedelapan," kata Zakir. "Kami tidak makan apa-apa lagi, kami bertahan dengan menyantap tanaman dan minum air hujan."
Tidak ada cara untuk memverifikasi secara independen pengakuan-pengakuan ini. Akses ke negara bagian Rakhine sangat terbatas.
Militer Myanmar membantah semua tuduhan itu dan mengatakan bahwa mereka hanya memburu militan Rohingya yang menyerang pos polisi.
Kelompok pengungsi tersebut kini telah dipindahkan ke sebuah kamp pengungsi yang luas di Balukhali.
Mahbub telah dibawa ke sebuah klinik yang dikelola Organisasi Migrasi Internasional (IOM), pembalutnya telah diganti dan lukanya dirawat.
Kamp pengungsi ini adalah rumah sementara mereka hingga masa depan yang tak bisa diperkirakan.
Tenda mereka terbuat dari lembaran plastik sederhana yang diregangkan pada tiang-tiang bambu. Pasokan air di kamp itu mengandalkan air hujan.
Tapi kelegaan bahwa mereka tetap hidup dan lumayan aman, mengatasi seluruh emosi lainnya.