Siapa Gubernur 01 Papua, Pace Enembe atau Pace Wetipo?

Foto: Dok, Prib Metu B KM
Oleh : Methu Cs Badii

OPINI, KABARMAPEGAA.Com - Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia biasanya gelar lima tahun sekali lewat pesta demokrasi secara serentak tiap kabupaten dan provinsi untuk memilih orang nomor satu di wilayah tersebut.

Calon Bupati dan Gubernur Provinsi Papua, harus Putra Daerah Papua sesuai amanat Undang-Undang Otonomi Khusus Tahun 2001. Pemberian Otsus bukan tindakan belas kasihan Pemerintah Pusat, namun jalan alternatif yang diambil akibat meningkatnya tuntutan untuk memisahkan diri.

Tuntutan rakyat Papua untuk lepas dari Negara Indonesia di respon dengan pemberian Otonomi Khusus. Namun, paket Otsus tersebut dinilai bukan jawaban atas tuntutan, pada tahun 2007 melalui Forum Demokrasi Rakyat Besatu (FORDEM) dengan tegas menyatakan “Otsus gagal total” dan rakyat Papua sepakat untuk kembalikan ke jakarta lantaran pasal perdasi dan perdasus yang memuat hak-hak dasar seperti “bendera bintang kejora, lagu kebangsaan, lambang negara” tidak sahkan oleh Pemerintah Pusat Indonesia dalam Otsus tersebut.

Tantangan Bupati dan Gubernur di Papua adalah merealisasikan tuntutan rakyat dan merealisasikan kepentingan negara di daerah konflik yang sering timbul dan tenggelam dalam waktu yang tidak menentu di warnai dengan saling tembak antara TPN/OPM dan TNI/POLRI di Tingginanbut, Puncak Jaya, Eduda - Paniai Papua.

Makanya negara (Jendral) biasa curigai Cabub dan Cagub yang merupakan Orang Asli Papua setelah terpilih jadi bupati atau gubernur bisa biayai gerakan separatis dan bisa pengaruhi masyarakat untuk menentang negara atas ketidak adilan yang lakukan oleh Aparat Keamanan Negara Indonesia.

Itu sebabnya negara melalui partai politik buat strategy untuk menghalau keinginan rakyat Papua dengan mendorong Cabub dan Cagub tertentu dengan harapan lakukan antisipasi munculnya kelompok atau faksi yang dapat menghambat pembangunan di wilayah tersebut. 

Hal tersebut, pernah dilakukan seorang elit poltik local di paniai, beliau kucurkan milyaran rupiah kepada aparat keamanan (brimob dan phaskas) untuk bongkar markas TPN/OPM di Eduda - Paniai dan berhasil cerai beraikan, lain tersebar di daerah Paniai, lain lari ke Nabire, ditangkap dan di penjarakan bahkan ditembak mati.

Sama hal dilakukan seorang elit politik di Puncakjaya, dia kerja sama Aparat Keamanan kejar TPN dan OPM yang bergerilya di Tingginambut, namun tidak berhasil hentikan pergerakannya, masyarakat sipil disekitarnya.

Justru, dipaksa untuk mengaku sebagai anggota TPN dan OPM dan mengenakan atribut Merah Putih lalu foto bareng sebagai bukti dan sebagai bahan pemberitaan media nocal dan nasional untuk menipu rakyat Indonesia.

Tindakan kedua elit politik ini, satu segi terpaksa harus lakukan karena tugas negara, tapi segi lain tidak pantas karena TPN/OPM juga rakyatnya, seharusnya kedua elit ini, gunakan cara persuasif , tidak harus jalankan operasi, tapi karena diancam oleh aparat, kedua elit politik tersebut akomodir permintaan proyek “Tujuh Belasan” dan proyek “turun gunung.” 

Tanpa pertimbangan, dana dengan jumlah yang besar, dikucurkan kepada aparat keamanan untuk tangani proyek pembrantasan Tpn/Opm, seharusnya dana milyaran tersebut, gunakan untuk berdayakan masyarakat local untuk kembangkan usaha kecil.

Tidak hanya kedua elit politik diatas, Bupati Jayawijaya Wempi Wetipo juga lakukan hal yang sama, dimana beliau hadirkan Mako Brimob. Pada hal, kehadiran Mako Berimob tersebut, sangat mengganggu kenyamanan masyarakat Wamena. Walaupun, masyarakat setempat dan berbagai pihak menolak, namun demi kepentingan Calon Gubernur Papua, terpkasa harus buka Mako Brimob di daerah tersebut.

Kehadiran Mako Brimob di Wamena, terkesan nilai tawar kepada negara melalui partai politik agar pace Wempi Wetipo di dorong untuk Calon Gubernur Papua, bersaing dengan pace Lukas Enembe yang di idolakan oleh masyarakat Papua untuk bertarung pada pesta demokrasi tahun 2018.

Dua partai besar becking kedua Cagub, Partai PDIP mendukung Wempi Wetipo, sedangkan Partai Demokrat mendukung pace Enembe. Siapa yang akan menang, apakah SBY (Enembe) atau Megawati (Wetipo) atau Cagub lain, belum bisa pastikan tapi kenyataan yang terjadi, mayoritas rakyat Papua, dukungan kuat untuk Pace Enembe, sementara pendukung untuk Pace Wetipo masih lemah.

Oleh karena itu, elit politik pusat melalui partainya sedang berupaya jatuhkan Pace Enembe dengan kasus dugaan korupsi “dana bea-siswa” agar pace Wetipo bisa lolos ikut kompetisi pesta demokrasi yang tahapannya akan bergulir pertengahan Bulan Oktober ini.

Tindakan elit politik pusat tersebut, di nilai upaya untuk menghalangi langkah Pace Enembe yang digemari oleh rakyat Papua sebagai pemipmin merakyat yang di harapkan untuk lanjutkan jilid ke-2 ini.

Pendukung kedua Cagub terlihat mulai saling sindir ramai melalui mulut ke mulut maupun kicauan lewat media sosial, Pace Enembe boleh, biasa membela rakyat Papua jadi lanjut Jilid ke-2, ah jangan salah, Pace Wetipo juga tra kosong, dua Periode jadi Bupati Jayawiya, beliau bersih dari korupsi, jadi Pace Wetipo cocok jadi Gubernur Papua.

Pace Enembe dan Pace Wetipo atau Cagub lain yang akan maju rebut kursi 01 Papua, semua adalah Putra Papua terbaik yang akan bartarung pesta demokrasi, mari kita ikuti tahapan yang akan berjalan. Dan jatuhkan pilihan anda kepada orang yang tepat. Jangan karena dipaksa atau terpaksa kita semua orang punya hak yang sama,hak untuk memilih, salam demokrasi. (Muyepimo/KM)

Penulis adalah Mahasiswa Papua, Kuliah di Bandung

Subscribe to receive free email updates: