Kepala Biro Hukum, Sistem Informasi dan Kepegawaian Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) R. Fendy Dharma Saputra mengatakan Biro Hukum Kementerian/Lembaga/PemDa/Institusi (K/L/D/I) dihimbau agar terlibat dalam pembuatan rancangan kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah sejak awal. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir permasalahan apabila terjadi sengketa hukum di kemudian hari.
“Peran Biro Hukum diantaranya adalah membantu pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam membuat rancangan serta memahami isi kontrak, kemudian mendampingi pokja ULP dalam membuat keputusan penyelesaian sanggah. “ kata Fendy dalam kegiatan bertajuk “Peningkatan Kapasitas Stakeholder dan Pelatihan Hukum Kontrak” di Surabaya, beberapa waktu yang lalu.
Lebih jauh, Fendy mengatakan apabila pengelola pengadaan menghadapi permasalahan hukum, maka biro hukum berkewajiban untuk melakukan pendampingan. Hal ini diatur
Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pasal 115 Ayat (3) yang berbunyi “Pimpinan K/L/D/I wajib memberikan pelayanan hukum kepada PA/KPA/PPK/ULP/Pejabat Pengadaan/PPHP/PPSPM/Bendahara/APIP dalam menghadapi permasalahan hukum dalam lingkup Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah”.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Acara Perdata Universitas Padjadjaran Eman Suparmanmengatakan, rancangan kontrak pengadaan barang/jasa bersifat sui generis atau bersifat spesifik/unik karena tidak hanya diatur oleh satu bidang hukum saja melainkan terkait sejumlah aspek hukum. Aspek hukum kontrak pengadaan barang/jasa yang perlu diketahui adalah aspek hukum perdata dan aspek hukum tata usaha negara. “(Maka dari itu) kontrak harus dibuat oleh orang yang cakap hukum”, kata Eman.
Pada aspek hukum perdata, istilah kontrak pengadaan barang/jasa merupakan perjanjian tertulis antara PPK dengan penyedia barang/jasa atau pelaksana swakelola. Maka dari itu, pelaksanaan kontrak antara kedua belah pihak pun perlu memiliki prinsip hukum yang berlaku. Prinsip tersebut adalah pacta sunt servanda (janji harus ditepati) dan privity of contract (para pihak yang terikat kontrak yang dapat memenuhi pelaksanaan kontrak).
Menurut Pakar Hukum Pidana Mudzakkir mekanisme hukum perdata dapat dilakukan apabila terdapat pelanggaran hukum kontrak pengadaan barang/jasa antara kedua belah pihak. “Pada saat setelah penandatanganan kontrak, maka gunakan hukum perdata. Selagi hukum keperdataan masih berlaku, maka tidak boleh masuk hukum pidana.”, kata Mudzakkir.
Sanksi pelanggaran hukum perdata adalah ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Selain itu, hukum kontrak harus ada solusi di dalamnya. Diantaranya adalah musyawarah mufakat, mediasi, pengadilan perdata, dan sebagainya. Mudzakkir menyarankan kepada Biro Hukum untuk membuat kontrak secara detail, pasti dan serba mencakup agar terhindar dari pelanggaran hukum perdata.
Sumber: lkpp.go.id