Joe Biden Diminta Lajutkan Pembicaraan Damai dengan Korea Utara

JAKARTA, SN - Pembicaraan damai di Semenanjung Korea akan menghadapi dinamika baru tak lama lagi. Joe Biden memperlihatkan tanda-tanda akan mengambil kebijakan yang berbeda dari pendahulunya, Donald Trump.

Di masa kampanye yang lalu, Biden menyebut Pemimpin Tertinggi Korea Utara Kim Jong Un sebagai “thug” atau penjahat, dan mengatakan, hanya bersedia bertemu dan melanjutkan pembicaraan damai dengan Korea Utara bila Korea Utara sepakat untuk melakukan denuklirisasi. 



Apa yang disampaikan Joe Biden ini mengabaikan kenyataan bahwa pendahulunya, Donald Trump, telah mencatat sejumlah pencapaian yang manis untuk perbaikan hubungan negara itu dengan Korea Utara. 

“Joe Biden akan terlihat tidak bijaksana bila mengembalikan hubungan Amerika Serikat dan Korea Utara ke titik sebelum pertemuan antara Kim Jong Un dan Donald Trump di Singapura bulan Juni 2018. Bagaimanapun setelah pertemuan itu, Korea Utara memperlihatkan sikap koperatif dengan melucuti fasilitas nuklir mereka,” ujar dosen politik Asia Timur Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Syarif Hidayatullah, Teguh Santosa, dalam keterangan yang diterima redaksi.    

Teguh mengingatkan, dalam tiga tahun terakhir di bawah pemerintahan Donald Trump, telah terjadi peredaan ketegangan secara signifikan yang unprecedented atau tidak terbayangkan sebelumnya di Semenanjung Korea. 

Diawali dari pertemuan Kim Jong Un dan Presiden Korea Selatan Moon Jaein di perbatasan Panmunjom, di sisi Korea Selatan, pada bulan April 2018.

Dalam kesempatan itu, Kim Jong Un sempat mengajak Moon Jaein menginjakkan kaki di Korea Utara. 

Sebulan kemudian keduanya kembali bertemu di Panmunjom. Salah satu yang dibahas dalam pertemuan kedua adalah rencana pertemuan Kim Jong Un dengan Donald Trump di Singapura pada bulan Juni di tahun itu. 

“Pertemuan Singapura tersebut patut dicatat sebagai pertemuan historis di abad ini,” ujar mantan Ketua Bidang Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu. 

Masih di tahun yang sama, di bulan September 2018, Moon Jaein mengunjungi Pyongyang dan Gunung Paektu yang sakral bagi masyarakat di kedua Korea.

Kim Jong Un bahkan memberikan kesempatan kepada Moon Jaein untuk berbicara langsung di hadapan rakyat Korea Utara di First of May Stadium di Pyongyang. 

Di tahun 2019, Trump dan Kim kembali bertemu. Kali ini di Hanoi, Vietnam. Dalam pertemuan itu, kedua pemimpin memang gagal menandatangani kesepakatan baru. Namun kegagalan tersebut tidak membawa keduanya mundur ke belakang. 

Untuk memperlihatkan itikad dan komitmen menjaga perdamaian di Semenanjung Korea, usai menghadiri G-20 Summit di Osaka, Jepang, di bulan Juni 2019, Donald Trump terbang ke Korea Selatan dan bertemu dengan Moon Jaein juga Kim Jong Un di Panmunjom.

“Lagi-lagi ini adalah pertemuan historis yang patut kita catat dalam konteks membangun perdamaian di Semenanjung Korea,” ujar mantan Ketua Bidang Luar Negeri PP Pemudaha Muhammadiyah itu lagi.

Dengan demikian, Teguh kembali menegaskan, sangat tidak bijaksana apabila Joe Biden membatalkan semua legacy itu. 

Kekhawatiran terhadap kebijakan Joe Biden di Semenanjung Korea juga dapat dilihat dari pernyataan awal tahun yang disampaikan Presiden Moon Jaein hari Senin kemarin (18/1). 

Ia berharap agar Joe Biden mau melanjutkan dialog damai dengan Korea Utara dan memasukkan hal itu dalam daftar prioritas kebijakan luar negeri pemerintahannya. 

Presiden Moon Jaein juga menjadikan pertemuan Trump-Kim di Singapura sebagai benchmark yang harus dijaga. 


Sikap Korea Utara

Teguh Santosa juga menjelaskan sikap Korea Utara terhadap perdamaian di Semenanjung Korea.

“Kita telah sama mendengarkan pidato yang disampaikan Kim Jong Un dalam Kongres ke-8 Partai Pekerja Korea pekan lalu. Kim Jong Un telah menyampaikan komitmennya untuk meningkatkan hubungan negara itu dengan negara-negara lain, dimulai dari Korea Selatan,” ujar Teguh Santosa yang juga Sekjen Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea Utara.

Semestinya, pernyataan simpatik dari Kim Jong Un ini disambut secara positif oleh pemerintahan baru yang akan terbentuk di Amerika Serikat beberapa saat lagi. 

Joe Biden semestinya bersedia menanggalkan “beban” politis dan ideologis yang dimilikinya. 

Beban politis tersebut berupa keinginan untuk mencatatkan hal-hal yang berbeda dibandingkan dengan pemerintahan Trump sebelumnya. Termasuk, dalam hal pembicaraan damai dengan Korea Utara. 

Sementara beban ideologis berupa keinginan kubu Partai Demokrat menjajakan demokrasi ala Amerika Serikat ke negara-negara yang menurut mereka tidak demokratis dan terbelakang. 

“Joe Biden sudah selayaknya membuka mata lebar-lebar bahwa demokrasi ala mereka yang selama ini mereka jajakan dan paksakan di banyak negeri telah menciptakan kekalutan dan kekacauan global. Menciptakan perdamaian bukan dengan memaksa bangsa lain dan negara lain menerima dan mengadopsi cara hidup dan pandangan politik mereka,” ujar Teguh Santosa. 

Pada bagian akhir, Teguh Santosa mengatakan, dari pembicaraan dengan banyak pihak di Korea Utara ia mendapatkan kesan bahwa sesungguhnya Korea Utara pun kurang puas dengan berbagai hasil pembicaraan yang telah dilakukan sebelumnya. 


“Korea Utara merasa telah memberikan banyak hal, dan tidak mendapatkan balasan apapun. Namun begitu, mereka tetap menjaga komitmen dan tidak berniat untuk menciderainya,” demikian Teguh Santosa.*[-]

Subscribe to receive free email updates: