PERSELISIHAN "ZONDER" PERMUSUHAN (Belajar dari pasang - surut hubungan Dwi Tunggal)

 

L. Faqih S. Hadie

"Hoe gaat het met Jou (Apa kabar)?" tanya Sukarno kepada Hatta  dalam sebuah perjumpaan mengharukan di bulan Juni 1970, lima hari sebelum Sukarno wafat. Hatta menggenggam tangan Sukarno erat-erat. "Baik No", jawabnya dengan mata berkaca-kaca. Dalam buku "Bung Karno, The Untold Stories" diceritakan bahwa Hatta saat itu tidak kuasa menahan air mata ketika melihat  keadaan kolega seperjuangannya itu terbaring kepayahan melawan penyakit yang merundungnya. Catatan ini mungkin menjadi bagian yang paling emosional dari sejarah pasang-surut hubungan Dwi Tunggal proklamator kemerdekaan Indonesia ini.

Perjalanan perjuangan Dwi Tunggal Sukarno-Hatta memang meninggalkan banyak kisah menarik. Dalam persepsi bangsa Indonesia, Dwi Tunggal adalah kata majemuk yang menggambarkan suatu keselarasan, kekompakan dan kesatuan persepsi mengenai segala hal. Mungkin hanya sedikit orang yang mengetahui bahwa dalam hubungan mereka juga terjadi pasang-surut. Di antara keduanya tidak jarang muncul perbedaan pendapat dan pertentangan pandang yang tajam, bahkan dalam soal-soal yang prinsipil.

Sukarno adalah seorang 'solidarity maker'. Beliau sangat pandai menggalang masa dan mempengaruhi pemikiran-pemikiran mereka dengan gagasan-gagasan cemerlang yang didukung oleh tehnik orasinya yang memukau. Sementara Hatta adalah sosok seorang administratur negara yang flamboyan atau boleh juga, akademisi yang skeptis. Perbedaan 'interinsik' inilah yang barangkali sering menggiring mereka ke dalam perbedaan-perbedaan pandangan, khususnya nengenai strategi dan politik perjuangan semenjak masa pra kemerdekaan.

Ketika Sukarno begitu bersemangat menggelorakan revolusi kemerdekaan Indonesia, Hatta justeru berpandangan lain. Menurut beliau rakyat Indonesia belum siap untuk merdeka sepenuhnya. Sebab modal merdeka saja tidak cukup jika kualitas SDM yang dimiliki Indonesia belum memadai untuk mengisi kemerdekaan itu. Konon demikian ceritanya.

25 April 1931 PNI dibubarkan Belanda karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Sebelum itu Belanda nenangkap Sukarno bersama sembilan orang tokoh PNI lainnya antara lain Gatot Mangkupraja, Soepriadinata dan Maskun Sumadiredja. Terhadap penangkapan dan pembubaran ini  Hatta mengatakan, "Ini memalukan dan dapat melemahkan semangat rakyat." Statemen ini tidak ditujukan kepada Belanda, tapi justeru kepada Sukarno dan kawan-kawannya yang diangap terlalu kukuh dengan politik agitasinya. Hatta memandang Sukarno dengan PNI-nya telah meletakkan diri pada 'biner position'  terhadap pemerintah Belanda, sehingga tidak menyisakan ruang kompromi sedikitpun.

Puncak perselisihan itu terjadi pada tahun 1956. Setelah 11 tahun menjabat, Hatta mengajukan permohonan pengunduran diri sebagai Wakil Presiden RI pada tanggal 20 Juli 1956. Karena merasa tidak ditanggapi, beliau mengirim surat susulan pada tanggal 23 November 1956 . DPR kemudian mengabulkan permohonan itu pada tanggal 30 November 1956. Sejarah mungkin enggan membahas alasan pengunduran diri ini secara terang benderang, tapi konon, beliau tidak sepakat dengan gagasan Demokrasi Terpimpin yang dicanangkan Sukarno waktu itu. Memang Hatta, disamping sosok seorang yang sangat  'concern' terhadap ekonomi kerakyatan, juga sangat pro terhadap demokrasi. Menurutnya, gagasan Demokrasi Terpimpin mungkin baik, tapi tata cara pelaksanaannya sangat mungkin menjauhkan Indonesia dari kebaikan itu.

Kemerdekaan memang tidak berjalan di jalan datar yang lengang dari halang-rintang. Jalan panjang menuju cita-cita kemakmuran dan kesentosaan itu kadang tak ubahnya seperti Padang Tieh yang maha luas dan panjang. Tapi demi masa depan bangsanya, Musa dan Harun harus melampauinya. Perdebatan, perselisihan, permusuhan bahkan pengkhianatan adalah mozaik-mozaik yang harus tetap ada dalam buku sejarah kemerdekaan Indonesia. Sejarah akan menjadi tidak utuh bila bagian-bagian muram ini dibuang. 

Pasang-surut hubungan Dwi Tunggal Sukarno-Hatta adalah salah satu mozaik itu, dan itu wajar. Nabi Musapun bahkan pernah dengan begitu marah menarik jenggot saudaranya Harun karena ia menyangka saudaranya telah melakukan pembiaran terhadap kesesatan kaumnya (Quran surah 7 : 92-94). Tapi kesalahpahaman itu tentu saja tidak berujung pada permusuhan. Ada visi besar yang selalu menyelaraskan langkah mereka, masa depan bangsanya setelah merdeka dari penindasan Paraoh (Firaun).

Hatta, setelah mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden RI kemudian sibuk keliling Eropa memberi kuliah umum di berbagai universitas. Tidak jarang para mahasiswa bertanya tentang kebijakan Sukarno yang kontroversial. Hatta sebagai orang yang "kecewa"  tidak lantas memanfaatkan situasi tersebut untuk menggiring opini publik kepada kebenaran prinsipnya. Beliau menjawab bijak, "terlepas dari baik buruknya Sukarno, beliau adalah presiden kami". 

Suatu hal yang patut diteladani, Hatta dalam hal ini sama sekali tidak melakukan pembiaran terhadap berkembangnya 'hoax' tentang memburuknya hubungan beliau dengan Sukarno. Sukarnopun sesungguhnya memiliki sikap yang sama. Beliau masih sangat menghargai dan menghormati sahabat seperjuangannya itu. Pada tahun 1960 situasi kesehatan Sukarno mulai memburuk, dan Sukarno memilih Hatta untuk mewakili beliau sebagai wali pendamping pada acara pernikahan putranya, Guntur Sukarno.

Dwi Tunggal memang bukan sekedar kata majemuk yang mengundang rasa estetis ketika diucapkan, tapi ia mewakili esensi yang sesungguhnya dari perpaduan dua tokoh besar ini  dengan segala suka-duka dan pasang - surutnya. Dwi nama ini akan tetap bersanding sebagai proklamator kemerdekaan Indonesia, hingga akhir masa. Demikian saya membatin di depan salah satu terminal Bandara Sukarno-Hatta. Mijn diep respect voor jou, de verkondigers !

*Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdhatul Ulama (ISNU) Lombok Tengah.

Subscribe to receive free email updates: