ASWATAMA SAMSARA

 

L. Faqih S. Hadie

Bharata Yudha baru saja usai, tak ada 'real count' yang ditunggu untuk memutus kemenangan, karena Kurawa telah luluh lantak oleh api perang yang disulutnya sendiri. Para panglimanya, juga prajurit-prajuritnya sirna berkalang bumi. Entah oleh amuk gada Arya Bima, panah Arjuna, atau Cakra sang Yudistira.

Aswatama menatap kelebatan burung-burung nazar di langit senja yang amis. Medan Kurusetra masih tergenang darah dari jasad para kesatria. Debu-debu telah mengendap di jasad Adipati Karna juga di wajah Resi Dorna, ayahnya.

Perang memang getir. Tubuh Aswatama yang berwujud setengah kuda itu bergetar, naluri binatangnya menyeruak, ia meringkik seperti kuda sembrani memandang Kurusetra. "Perang belum usai!" teriakannya membahana hingga ke lembah-lembah yang mulai dipapar gelap. Aswatama murka!

Malam dijejal aroma amis darah, gelap mengepung seperti jelaga. Aswatama berjalan mengendap, di tangannnya tergenggam sebilah senjata. Langkahnya tak terendus oleh para satria Pandawa yang tengah lelap di bilik-bilik tenda.

Malam itu Aswatama  melampiaskan nafsu angkara murkanya, dendam telah melucuti sifat-sifat ksatria dalam dirinya. Tak hanya itu, ia telah menjelma menjadi makhluk pengecut, bahkan paling pengecut dari seluruh karakter yang ada dalam 'epic' Maha Bharata yang ternama. 

Amis darah kian membuncah ketika Aswatama berjingkat menyusupi bilik-bilik tenda keluarga Pandawa. Para satria itu ditikam satu-persatu dan tewas sebelum sempat tersadar dari tidurnya. Bukan hanya mereka, Duryudana sang penguasa bersama permaisurinya Dewi Banowati, Srikandi sang pemanah dan Drestajumna yang ia duga telah membunuh ayahnya juga tewas dalam semalam. Menggenaskan.

Adalah Parikesit cucu sang Arjuna, putra Abimanyu yang mewarisi watak ksatria ayahnya. Siapa sangka bayi merah itu dapat menghentikan petaka. Ketika Aswatama mendekati tempat tidurnya, bayi itu tersentak dan tanpa sengaja kakinya menyentuh gadewa Panah Pasopati yang tergantung di sisinya. Mata panah itu melesat, mengejar Aswatama yang berlari ke dalam kegelapan.

Malang tak dapat ditolak, Arya Bima dan Yudistira tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya. Tak ada basa-basi, gada di tangan saudara ke dua Pandawa itu tiba-tiba telah melumat kepala putra Dewi Sucitra itu hingga hancur. Yudistira masih tampak geram, ia mengutuk kepengecutan manusia setengah kuda itu, ia menghardik pecundang kalap yang tak menerima kekalahannya itu secara kesatria.

Aswatama tak sempat mengerang, ruhnya lucut seketika dari jasadnya yang sirna. Ia kemudian terlahir nelangsa, menyusuri Lorong Samsara, menjadi seorang pengemis tua yang buta dan nista, yang berlari kelelahan melintasi zaman yang teramat panjang, demi memburu moksa yang tak kunjung datang. 

Ia muncul di setiap orde, menyusup di segala zaman, bereinkarnasi dalam berbagai macam perselisihan dan pertikaian. Dan senja ini, ketika mataku telah lelah menelaah sabda-sabda dari kitab suci demokrasi, pengemis tua itu masih berdiri di panggung-panggung orkestra selebrasi. Matanya penuh selidik, tangannya mengepal, menggenggam senjata yang ia sembunyikan di balik mantel. Entah siapa lagi yang hendak ia tikam diam-diam.

Subscribe to receive free email updates: