Namun, Dedi mengakui jumlah penderita DBD di daerahnya sulit diturunkan akibat pola hidup masyarakat kurang sehat. "Walaupun hanya 60 persen, harusnya di Indramayu (vaksin DBD) bisa diterapkan untuk menekan jumlah kasus DBD yang selalu tinggi," katanya, Minggu (30/10/2016).
Dedi menyadari, keinginan tersebut sulit diwujudkan karena ketersediaan anggaran di pemerintah daerahnya. Terlebih, vaksin yang mulai diperkenalkan di Indonesia beberapa pekan lalu juga belum menjadi program pemerintah pusat. "Vaksinnya saat ini sudah ada di Indonesia tapi jumlahnya masih terbatas yang saya tahu. Dan harga vaksinnya juga katanya lumayan mahal," kata Dedi tanpa menyebutkan nominal harga vaksin tersebut. Untuk bisa dijangkau masyarakat khususnya di Indramayu, ia menilai pemberian vaksin harus secara gratis.
Program pemberian vaksin DBD secara gratis menurut Dedi bisa menjadi perdebatan yang panjang. Hal serupa diakui terjadi pada program pemberian vaksin meningitis yang hingga saat ini masih berbayar walaupun cukup dibutuhkan masyarakat. “Vaksin meningitis untuk jamaah haji saja sampai sekarang masih bayar padahal sudah diusulkan untuk digratiskan sejak 2013,” katanya membandingkan.
Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Indramayu Deden Bonni Koswara mengatakan vaksin DBD masih kontroversial di dunia kesehatan. Menurut dia, evidence base atau bukti ilmiah vaksin DBD itu berkhasiat atau tidak masih diperdebatkan para ahli kesehatan. Deden menjelaskan vaksin tersbeut memang dianjurkan bagi negara yang endemis penyakit DBD, termasuk di Indonesia khususnya Kabupaten Indramayu. "Saat ini vaksin DBD belum sampai ke Indramayu," katanya menegaskan.
Kepala Seksi Pemberantasan Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon Nanang Ruhyana menyebut vaksin tersebut sudah dijual salah satu perusahaan obat-obatan di wilayah Bandung. Namun, ia belum mengetahui harga vaksin tersebut. "Harga vaksin terhitung relatif mahal namun sebanding dengan resiko menderita penyakit infeksi dengue berat bila tidak divaksin," kata Nanang.
Vaksin tersebut menurut dia efektif diberikan pada anak usia sembilan tahun ke atas. Vaksin tersebut dipercaya memberikan kekebalan yang lebih terhadap serangan DBD yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegypti.
"Riset vaksin oleh Sanofi Pasteur sudah dilakukan sejak 20 tahun lalu. Indonesia jadi salah satu negara di Asia Tenggara dan Amerika Selatan yang diuji vaksin ini," kata Nanang.
Berdasar informasi yang ia peroleh dari pihak Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Vaksin tersebut menurutnya mulai diedarkan pada awal 2016 di Meksiko hingga akhirnya di Indonesia setelah September 2016 BPOM memberi izin edar. (PR/WD)