
“Tahun kemarin hanya di angka 72. Mereka itu belum mencapai usia 18 tahun. Memang mayoritas karena ada insiden pada hubungannya. Sehingga terpaksa dinikahkan,” ungkapnya, Kamis (10/112016).
Lebih lanjut, Sa’adah menjelaskan, pernikahan dini yang dipaksakan melalui dispensasi nikah itu, rentan terjadinya perceraian. Bahkan, Sa’adah menilai, hal tersebut merupakan gerbang terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). “Mereka nikahkan bukan karena niatan, tapi karena ingin lepas dari jeratan hukum. Sehingga, dipaksakanlah untuk menikah,” jelasnya.
Minimnya informasi akan kesehatan reproduksi serta pergaulan bebas, merupakan faktor utama terjadinya hubungan di luar nikah. Mawar Balqis pun mengajak masyarakat agar lebih memandang ke kehidupan mendatang, dibandingkan dengan solusi instan yang hanya akan menciderai pernikahan.
“Terakhir kita mendapatkan informasi ada yang cerai. Dan, usia pernikahannya itu baru satu minggu. Kita ingin membuat sesuatu yang memberikan efek jera kepada pelaku agar tidak menjadi pelaku kekerasan seksual,” katanya.
Saat ini, Mawar Balwis yang tergabung dalam Forum Pengada Layanan (FPL) beserta lembaga lainnya yang konsenterasi di bidang yang sama, sedang melakukan percepatan penyusunan draft Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Hal tersebut dilakukannya guna mendorong DPR RI membuat panitia khusus (pansus) untuk membahas dan mengesahkan undang-undang PKS. “Kita mendorong agar RUU ini disahkan, karena UU yang ada saat ini, seperti UU Perlindungan Anak,” tandasnya.
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) Kata Balwis, belum cukup memenuhi hak-hak para korban. Pihaknya me-anggap UU tersebut melankan hanya fokus pada pelakunya, bukan kepada korbannya. Radar