Kemarin, pasukan polisi bersorban tersebut tampak ikut apel pengamanan Pilkada 2017 di Monas. Apel tersebut juga dimaksudkan untuk melihat kesiapan aparat dalam mengamankan aksi besok. Pasukan bersorban dan peci putih tampak mengumandangkan shalawat dan zikir pada saat Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memeriksa pasukan.
”Ini pasukan Brimob yang khusus berzikir dan bershalawat supaya meredakan emosi dan bikin hati adem para demonstran,” ujar Tito kepada Gatot di Lapangan Monas. Kapolri juga menegaskan, pengunjuk rasa harus menaati empat koridor. Keempatnya yakni tidak boleh mengganggu hak asasi orang lain, tidak boleh mengganggu ketertiban publik, memperhatikan etika dan moral, dan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Terpisah, Kepala Biro Operasi Polda Metro Jaya Kombes Verdianto mengatakan, pasukan polisi bersorban itu merupakan pasukan gabungan dari Brimob Polda Jawa Barat dan Polda Metro Jaya. ”Ya itu kan cara-cara humanis. Kami kedepankan upaya persuasif untuk mengawal dan mengamankan demo nanti,” ujar Verdianto.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Awi Setiyono menambahkan, pihaknya tak hanya menyiapkan personel bersorban, tapi juga polisi wanita (polwan) berhijab sebagai tim negosiator. ”Polwan tim negosiator karena wanita kan penuh kelembutan. Kami upayakan tindakan persuasif dan dialog, dia (polwan) yang akan melakukan dialog,” kata Awi.
Selain melakukan negosiasi, menurut Awi, para polwan ini akan membantu massa saat melakukan aksi. ”Kami akan bantu yang bisa kami bantu,” ujarnya. Sebanyak 300 anggota polwan disiapkan di garda terdepan dalam menghadapi para pengunjuk rasa. Sementara itu, dalam apel kemarin, Gatot mengintruksikan anggotannya untuk tidak ragu dalam mengambil langkah tegas terhadap pelaku demo anarkis.
”Jangan ragu sesuai prosedur,” ujar Gatot. Dia menegaskan, TNI tidak akan memberi toleransi mereka yang anarkis dan memecah belah NKRI. ”TNI perekat kemajemukan dan semangat TNI adalah satu, menegakkan Bhineka Tunggal Ika dan Bangsa Indonesia bisa majemuk dan sulit terpecahkan,” ujarnya.
Dikecam IPW
Rencana Polri menurunkan aparat yang mengenakan jubah dan sorban dalam pengamanan aksi besok menuai kecaman. Polri diminta tetap profesional dan proporsional dalam menjalankan tugasnya menjaga keamanan masyarakat. ”Polri jangan lebay dalam situasi apapun. Selain itu, Polri juga harus profesional dan proporsional sesuai Prosedur Operasi Standar,” kata Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane.
Menurutnya, dalam menjaga keamanan, Polri hanya bisa melakukan keamanan terbuka dengan pakaian seragam dan pengamanan tertutup dengan pakaian preman. Selain itu, lanjutnya, tidak ada ketentuan bahwa anggota Polri diperbolehkan mengenakan jubah dan sorban dalam menjaga keamanan.
”Kemudian akan menurunkan polisi berjubah dan bersorban. Padahal, hal itu akan sangat merugikan Polri. Apalagi jika polisi yang berjubah dan bersorban itu menjadi korban. Untuk itu, IPW mendesak agar Polri membatalkan rencananya untuk menurunkan polisi berjubah dan bersorban,” tegasnya. Ditegaskan, IPW berharap Polri tetap profesional dan proporsional.
Selain itu, IPW berharap Presiden Joko Widodo konsisten dengan janjinya bahwa tidak akan melakukan intervensi dalam kasus hukum yang menyangkut Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. ”Sehingga Polri tidak terbebani dan tercoreng citranya akibat kasus tersebut. Hal ini patut diingatkan, karena intervensi kekuasaan dalam kasus hukum bukan yang pertama,” tukasnya.
Dalam dua tahun pemerintahan Presiden Jokowi saja, ucapnya, sudah ada tiga kasus hukum yang diintervensi kekuasaan. Yakni kasus Novel Baswedan, kasus Bambang Widjojanto, dan kasus Abraham Samad, yang seharusnya bisa diselesaikan lewat pengadilan. ”Untuk itu, IPW berharap Jokowi konsisten akan janjinya dalam kasus Ahok. Hal itu agar Polri tidak menjadi bulan-bulanan masyarakat,” imbuhnya.
Tekanan Publik
Terpisah, Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro mengingatkan Jokowi untuk tidak meremehkan tekanan publik. Apalagi, rencana aksi demonstrasi muncul karena kasus penistaan Alquran yang dilakukan oleh Ahok, tidak segera diproses secara hukum. ”Hal ini melahirkan tekanan publik yang luar biasa. Untuk itu, Presiden Jokowi jangan meremehkannya. Sudah banyak contoh politisi atau elite politik yang jatuh karena desakan publik yang menuntut keadilan,” katanya.
Dia lalu mencontohkan ketua DPR yang ”dilengserkan” di tengah jalan. Contoh lainnya adalah ketika publik menolak calon Kapolri dan akhirnya yang bersangkutan gagal.
”Itu semua terjadi karena tekanan publik. Sehingga, Jokowi harus menyadari kalau kondisi seperti saat ini dibiarkan terus menerus, maka tekanan publik semakin meluas,” ujarnya. Selanjutnya, kata Zuhro, partai politik yang mendukung Jokowi pun akan mundur satu persatu.
Bagaimanapun, lanjutnya, tidak akan ada yang sanggup melawan tekanan publik yang menuntut keadilan. ”Meski didukung kekuatan politik, Jokowi tidak akan berdaya. Publik akan mendelegitimasi pemerintah. Apalagi jika hal ini dibiarkan dalam waktu yang lama,” tuturnya. Pembiaran semacam itu juga akan mendestruksi kewibaan pemerintah.
Dampak lain dari tidak diselesaikannya kasus itu dengan segera adalah akan menimbulkan keresahan sosial yang akan berujung pada terciptanya kondisi kaos. Selain itu, Zuhro mengatakan masyarakat menunggu tindak lanjut dari sejumlah pertemuan yang dilakukan oleh Jokowi dengan sejumlah kalangan. Sebab, masyarakat tidak akan pernah merasa cukup bila pertemuan itu tidak diikuti dengan penegakan keadilan.
Mantan Menkopolhukam Laksamana (purn) Tedjo Edy meminta Presiden Joko Widodo jangan mengorbankan stabilitas hanya karena ingin melindungi Ahok. Menurutnya, jika terjadi sesuatu saat aksi besok, berarti yang mengadu domba rakyat adalah justru pemimpin negara sendiri karena tidak bisa menjaga persatuan bangsa dan tidak mampu memimpin bangsa ini. Hal senada disampaikan Fuad Bawazir.
Mantan menkeu itu menilai dalam kasus Ahok, publik menangkap kesan bahwa Ahok ini orang kebal hukum. ”Dilaporkan kasus apa saja dan ke instansi manapun juga selalu gagal atau ditolak atau dinyatakan tidak bersalah,” ungkapnya.(Suara Merdeka)