Ilustrasi:Jokowi, Gus Dus dan Papua.(Design/KM) |
Oleh: Tri Agus Susanto Siswowiharjo*
Presiden Jokowi berencana menghabiskan malam pergantian tahun 2016 di Raja Ampat, Papua Barat. Selain ke Raja Ampat, Jokowi juga akan mengunjungi Sorong (Papua Barat), Wamena dan Merauke (Papua). Kunjungan itu akan diisi dengan peresmian pasar, bandar udara, dan lainnya. Kehadiran Jokowi ke Tanah Papua saat pergantian tahun ini tentu menggembirakan. Ini bentuk perhatian pemerintah pada Papua. Namun, harus diakui, Presiden Abdurrahman Wahid telah memulai pendekatan dialog dengan Papua semasa memimpin pemerintahan.
Pada 1 Januari 2000 Gus Dur mengembalikan nama Papua sekaligus menyetujui simbol kultural bendera Bintang Kejora dikibarkan. Perubahan dari Irian ke Papua tentu bukan sekadar perubahan nama. Di balik itu ada pengakuan terhadap martabat dan mengembalikan kebanggaan daerah (etnik). Jika Papua bangga setidaknya akan mudah untuk berdialog.
Selain membatalkan keputusan politik di masa Presiden Habibie yang membagi Papua menjadi tiga provinsi, kepedulian Gus Dur ditunjukkan dengan memfasilitasi Kongres Nasional Papua II yang berlangsung pada 30 Mei sampai 4 Juni 2000, dihadiri 3000 orang, didengar oleh ratusan ribu orang melalui siaran radio. Rekomendasi dari Kongres Nasional Papua II diberikan kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Meski Gus Dur menolak tuntutan kemerdekaan yang dihasilkan kongres, namun fasilitator kongres, Willy Mandowen, mengakui komitmen Gus Dur untuk mendekati rakyat Papua dengan cara kemanusiaan adalah jalan terbaik.
Pada 1 Januari 2001 Gus Dur sebagai presiden memberlakukan status Otonomi Khusus Papua. Meski kebijakan tak berjalan mulus, antara lain karena gelontoran dana dari Jakarta tak mampu mensejahterakan rakyat Papua. Otsus seolah hanya ‘dinikmati’ elit Papua dan Jakarta membiarkan itu semua.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan PP No. 77 Tahun 2007, melarang pengunaan atribut daerah yaitu bendera Bintang Kejora, simbol Burung Mambruk, dan lagu Hai Tanahku Papua. Upaya perdamaian dan dialog Jakarta-Papua hingga kini belum menemui titik terang.
Papua bukan hanya Raja Ampat dan Freeport yang menghasilkan keindahan alam dan ribuan ton emas dari perut bumi. Melihat Papua hendaknya dari kaca mata yang utuh. Papua adalah ketidakadilan, kemiskinan, pelanggaran HAM, selain keindahan dan kekayaan alam. Melihat Papua hanya karena Raja Ampat dan Freeport adalah keliru.
Selama ini Papua selalu dilihat sebelah mata. Saat Tolikara membara seluruh negeri mencerca. Orang lebih peduli tempat ibadah daripada nyawa orang Papua. Ketika puluhan anak Papua meregang nyawa di pedalaman, seolah tak ada yang berduka. Giliran soal harta kekayaan alam Papua di Timika semua merasa memiliki Papua. Sesungguhnya cara memandang sebagian orang Indonesia tak jauh beda dengan Belanda saat menjajah Indonesia. Penjajah hanya peduli dengan kekayaan alam, persetan dengan penghuninya.
Pemerintah dan masyarakat Indonesia umumnya melihat Papua karena alamnya yang kaya, bukan karena manusianya. Banyak terjadi pelanggaran HAM di tanah ini, namun sedikit yang diselesaikan. Ketika anak-anak muda Papua melakukan aksi unjuk rasa di beberapa kota, publik balik menuduh: dasar separatis tak tahu terima kasih. Tuduhan seperti itu pernah dialamatkan kepada para pemuda Timor Leste 17 tahun lalu.
Belajar dari Timor Leste:
Tentu kita masih ingat, sekitar 17 tahun lalu Australia (berbalik) mendukung Timor Leste merdeka. Salah satu sebabnya Australia tergiur cadangan minyak di Celah Timor. Daripada ribut melulu berurusan dengan Indonesia, lebih baik mendukung negara baru yang belum pengalaman. Hingga 2019, dipastikan Indonesia ribut terus soal apakah kontrak dengan Freeport dilanjutkan. Tak ada yang bisa menduga apa yang bakal terjadi nanti. Bagaimana jika Amerika Serikat memilih jalan Australia mendukung Papua merdeka demi terus menguasai emas Freeport?
Presiden Jokowi tentu mempunyai pendekatan khusus untuk Papua. Tahun lalu Jokowi menghadiri Natal Nasional 2014 di Jayapura. Sampai akhir 2015, sejumlah pembangunan telah dituntaskan seperti pasar untuk mama-mama, bandara dan percepatan pembangunan infrastruktur transportasi. Selain itu, upaya pemerintah menjadikan Papua sebagai wilayah terbuka telah dilakukan, dengan makin memberikan ruang bagi jurnalis (termasuk asing) untuk meliput di Papua. Tetapi kebijakan presiden ini kurang diapresiasi oleh TNI. Di kalangan TNI, Papua masih dianggap daerah panas yang wajib diwaspadai, dilestarikan, dan karena itu harus dijauhkan dari awak media.
Bagi rakyat Papua, persoalan utama bukan seberapa banyak Jokowi mengunjungi Bumi Cendrawasih. Tetapi, apakah agenda yang dibawa Jokowi ke Papua bisa membawa kesejahteraan bagi masyarakat Papua? Jika melihat janji Jokowi terhadap Papua, Jokowi menyadari memang ada konflik di Papua. Komitmen pemerintah membangun Papua sudah ada dan saat ini bagaimana orang Papua membuka hati untuk Jokowi yang sudah menghadirkan negara (tak hanya TNI/Polri) di tengah masyakarakat Papua.
Selanjutnya, agar lancar dalam menyelesaikan berbagai persoalan di Papua, Jokowi harus mampu mengendalikan militer. Sudah bukan rahasia lagi, Papua itu seperti kawah Candradimuka bagi para perwira sekaligus semacam ATM. Di sanalah penugasan yang menjanjikan karier seorang prajurit, sekaligus mendatangkan imbalan yang lumayan. Seperti kata George J. Aditjondro, “TNI ke Papua membawa M16, pulang dari Papua membawa 16M.”
Penulis adalah Staf pengajar Prodi Ilmu Komunikasi STPMD "APMD" Yogyakarta