Peranan Penting Kelas Buruh

(Ilutrasi, Kelas Buruh)
Oleh: Frans Pigai

"Pertanyaannya bukanlah siapakah proletar ini atau itu, atau bahkan apakah semua proletar saat ini memikirkan akan tujuannya. Pertanyaannya adalah apa proletariat itu, dan apa yang harus dilakukan." (Karl Marx, 1844) Untuk banyak orang tampaknya aneh, kaum sosialis selalu mempermasalahkan peranan kelas buruh. Bukankah kita (di barat) semua adalah kelas menegah dewasi ini? Di Australia, kebanyakan pekerja bisa memiliki rumah, komputer, TV, dan video yang bagus.

Mana mungkin pekerja yang relatif makmur ini akan melawan sistem kapitalis? Argumen seperti ini sering digunakan untuk membingungkan dua perbedaan dalam memandang dunia. Untuk para ahli sosiologi burjuis, posisi kelas kita tergantung pada standar hidup, atau anggapan subyektif kita sendiri, Kaum Marxis, di lain pihak memperhitungkan juga aspek lainnya, ialah dinamika sosial dan hubungan antar-golongan. Kita melihat perbedaan antara mereka yang harus bekerja untuk hidup dan mereka yang mengontrak orang lain untuk bekerja. Seorang Bill Gates atau Bob Hassan bisa segera jadi pensiun, dan akan hidup dengan enak dari keuntungan yang dihisapnya dari karyawan-karyawan di perusahaan-perusahaan yang dimiliki mereka.

Tida ada pekerja yang bisa melakukan hal serupa itu, karena kaum buruh tidak memiliki alat produksi. Bahkan banyak orang di barat yang dulu disebut sebagai kelas tengah professional, sekarang justru ikut organisasi-organisasi buruh dan mereka juga sering menggunakan taktik kelas buruh. Guru, dosen, pegawai negeri, dan perawat, semuanya telah atau sedang menjadi bagian dari kelas buruh (memproletarisasi). Pada awalnya mereka terkadang bingung tentang kelas mana mereka tergolong, namun lama-kelamaan mereka menyadari kenyataannya dan mulai berorganisasi dan berjuang melawan kaum majikan.

Tetapi mengapa para marxis mendesak bahwa kelas inilah yang akan menghantarkan sosialisme? Jika melihat disekeliling kita, tidak banyak pekerja yang memperlihatkan kecenderungan sosialisme. Malah banyak buruh yang beranggapan anti-sosialis. Dan kami tidak bisa mengklaim bahwa kelas pekerja kurang termakan oleh prasangka yang dilahirkan sistem kapitalis seperti rasisme atau sexisme.

Namun kaum sosialis tidak menengahkan anggapan subyektif sebagai pusat analisis dan strategi, melainkain * posisi obyektif * pekerja yang terdapat di jantung proses produksi - dan * potensi * mereka untuk berjuang dengan efektif. Aspek inilah yang merupakan kunci kemampuan, dan kecenderungan kelas pekerja untuk menghantarkan sosialisme. Industri kapitalis mengumpulkan jutaan pekerja di seluruh dunia kedalam ratusan ribu tempat kerja - dan mengorganisasi mereka ke dalam tim-tim, line-line perakitan, sift-sift.

Organisasi, disiplin dan kerjasama massal menjadi ciri-ciri keseharian kehidupan pekerja. Di sini sudah terlihat potensi sosial kelas pekerja, yang bertumbuh justru di jantung sistem produksi kapitalis sendiri. Budiman Sujatmiko (ketua PRD) telah menegaskan: "Kaum buruh memiliki kekuasaan ekonomi, sehingga hal ini tetap menjadi prioritas PRD." (Wawancara, Green Left, Maret 1998).

Kami setuju dengan Budiman dalam hal ini. Karena tekanan senantiasa dilakukan oleh majikan untuk menurunkan gaji dan membuat jelek kondisi kerja, kaum buruh juga dimotivasi dan didorong untuk berjuang. Itu terjadi di barat juga, walaupun kaum buruh di sini relatif makmur. Buruh barat yang mempunyai rumah, mobil dsb akan berjuang secara gigih jika kemakmuran ini terancam. Dan oleh karena kondisi obyektif tadi (organisasi dan kerjasama massal) para buruh mampu untuk berjuang secara massal dan berdisiplin, misalnya dalam bentuk serikat-serikat ataupun partai-partai. Pengulangan perjuangan tersebut menuju ke pendirian organisasi-organisasi antar-perusahaan dan antar-sektor. Pada mulanya, perjuangan kelas biasanya sekedar mempertahankan gaji dan kondisi-kondisi lain di tempat kerja. Namun batasan ini bisa dilampaui.

Dalam setiap konflik antara buruh dan majikan muncul pertanyaan siapakah yang harus memutuskan pada pembagian produk yang dihasilkan. Kemudian timbul pertanyaan mengapa beberapa orang memiliki alat-alat produksi sekaligus hasil produksinya, dan yang lain (mayoritas orang) tidak memilikinya. Mengapa kelas-kelas ada. Hanya sebagian para buruh yang manyadari semua unsur dari perjuangan mereka.

Tapi kesadaran itu ada, dan di saat-saat perjuangan yang bersifat ekstrim, aspek-aspek ini cendurung muncul ke permukaan. Sebagai contoh, ketika para buruh diberhentikan (PHK), karena majikan tidak membuat cukup keuntungan, pasti timbul pertanyaan-pertanyaan mengapa kebutuhan seorang majikan lebih penting daripada gaji para buruh yang sangat diharapkan. Ketika perjuangan seperti aksi mogok berlangsung terus-menerus, pertanyaan akan kepemilikan alat-alat produksi disa mendapat perhatian yang besar. Apalagi dalam sebuah situasi revolusioner.

Dalam situasi serupa itu, yang menjadi soal penting adalah kemampuan kelas buruh untuk menduduki tempat-tempat kerja dan merebut alat-alat produksi. Pabrik-pabrik dan kantor-kantor dapat menjadi gelanggang untuk berdiskusi dan berdebat, dan mengambil prakarsa untuk meluaskan perjuangannya. Kemudian tempat kerja bisa menjadi batu sendi dari masyarakat sosialis. Bila kaum pekerja berkumpul setiap hari di perusahaan yang sudah menjadi milik mereka, dan memilih manajemen sendiri secara demokratis, di saat inilah sebuah sistem ekonomi dimana kepentingan-kepentigan mayoritas akan terpenuhi. (FP/KM)

*) Penulis adalah Mahasiswa Papua, Kuliah di Tanah Kolonial Indonesia, Surabaya

Subscribe to receive free email updates: