Mataram - Anggota DPRD Nusa Tenggara Barat melayangkan nota protes terhadap para pimpinan Komisi II DPRD menyusul tidak transparannya pembahasan dana alokasi pokok-pokok pikiran senilai Rp3 miliar yang telah dialokasikan badan anggaran bersama eksekutif dalam APBD Perubahan 2017. "Karena ini sudah menjadi ranah publik, kami minta ini harus di buka dan diselesaikan secara tuntas," tegas Ketua Fraksi PDI Turmuzi saat rapat paripurna DPRD NTB di Mataram.
Sebagai pimpinan, kata Ruslan, dana alokasi pokok-pokok pikiran (pokir) senilai Rp3 miliar tersebut semestinya di bahas secara terbuka bersama anggota di tingkat komisi. Bukan justru malah di tutup-tutupi."Inilah yang menjadi pertanyaan kami, kenapa anggaran yang sebegitu besar tidak dibahas. Kalau sudah begini kemana dana itu," tukas Ruslan Turmuzi.
Ia menilai, sebagai pimpinan Fraksi PDI Perjuangan, tentu dirinya memiliki kewajiban untuk membela anggota. Tidak hanya yang berasal dari Fraksi PDI Perjuangan, tetapi juga para anggota yang duduk di komisi terkait.
Anggota Komisi II DPRD NTB Made Slamet, membenarkan mayoritas anggota Komisi II telah melakukan nota protes sebagai bentuk ketidak percayaan atas sikap pimpinan Komisi II yang tidak transparan dalam membahas dan membagi dana pokir tersebut."Surat keberatan sudah kita layangkan. Sekarang kami tunggu respon lembaga melalui pimpinan DPRD dan BK DPRD NTB," tegasnya.
Menurut dia, seluruh anggota Komisi II DPRD NTB sudah tidak percaya lagi terhadap pimpinan komisi. "Kita ingin ada pimpinan membahas masalah ini. Jangan sampai ketika berperkara baru kita dipanggil, tentu kita tidak ingin jika itu terjadi," ucapnya.
Anggota Komisi II DPRD NTB lainnya, Rayhan Anwar, menjelaskan adanya alokasi dana pokir sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 tahun 2010, khususnya pada pasal 55 huruf a tentang Pedoman Penyusunan DPRD tentang tata tertib. Disamping itu, dalam UU 23 tahun 2014 juga diatur terkait kewajiban anggota legislatif menjaring aspirasi dari masyarakat.
Selanjutnya, aspirasi tersebut ditindaklajuti para wakil rakyat ke eksekutif saat perancangan APBD. Oleh karena itu, jika pimpinan komisi tidak melakukan rapat dengan para anggota guna membahas dana pokir tersebut, maka mereka masuk katagori melakukan pelanggaran terhadap aturan."Kami minta Badan Kehormatan (BK) DPRD bersikap tegas, menelusuri pelanggaran kode etik yang dilakukan pimpinan komisi II tersebut," katanya.
Pokir merupakan kepanjangan dari pokok-pokok pikiran. Istilah ini digunakan untuk menyebut kewajiban anggota legislatif menjaring aspirasi dari masyarakat. Aspirasi itu kemudian akan ditindaklajuti para wakil rakyat ke eksekutif saat perancangan APBD.
Hal ini sesuai yang tercantum pada Pasal 55 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan DPRD tentang tata tertib, disebutkan, Badan Anggaran mempunyai tugas memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada kepala daerah dalam mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah paling lambat 5 (lima) bulan sebelum ditetapkannya APBD.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD NTB Mori Hanafi berjanji apa yang menjadi aspirasi para anggota akan di tindaklanjuti dan dibahas bersama seluruh pimpinan untuk segera diselesaikan. "Apa yang menjadi tuntutan anggota akan kita segera selesaikan," tegas Mori Hanafi. 01