Program rintisan Guru BAIK (Belajar – Aspiratif – Inklusif – Kontekstual) dan program rintisan SETARA (Peningkatan Kualitas Pembelajaran untuk Pendidikan Inklusif/Anak Berkebutuhan Khusus) yang telah dilaksanakan di Kabupaten Lombok Tengah telah mampu memberikan arti kemanusiaan yang mendalam dan nyata khususnya pada anak Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
Pengawas SD Kecamatan Kopang, DR (HC) Ahmad S.Pd M.Pd, sendiri merasakan dampak program yang ditawarkan oleh INOVASI. Baginya ada keunikan dari program ini yaitu suatu metode yang disebut dengan PDIA (Problem Driven Iterative Adaptation).
PDIA menitikberatkan pada solusi lokal bagi permasalahan dan tantangan lokal yang diterapkan di setiap kabupaten mitra INOVASI. Metode ini mendukung penggalian masalah di bidang pendidikan beserta solusinya yang disesuikan dengan konteks lokal.
Menurut Ahmad, banyak problematika yang ditemukan dalam hal peningkatan kualitas pendidikan baik dari segi tenaga pendidik maupun dari lingkungan sekolah itu sendiri. INOVASI dengan program-program rintisannya menunjang guru dan tenaga pendidik untuk mampu mengatasi problematika tersebut sehingga kualitas pendidikan yang diharapkan dapat dicapai. Mekanisme pelaksanaan program banyak melibatkan fasilitator daerah (Fasda).
“Total ada 36 orang fasilitator, termasuk Fasda program rintisan Guru BAIK dan SETARA. Mereka berbagi ilmu kepada guru dengan antusias dan tidak mendominasi sehingga tujuan kegiatan dapat terlaksana dan sesuai dengan target,” ungkapnya ketika ditemui di Kantor INOVASI Kabupaten Lombok Tengah (18/7).
Ahmad menuturkan bahwa problematika pendidikan khususnya menyangkut guru adalah masih lemah atau kurangnya kreativitas dan teknik pengajaran yang terlihat dari monotonnya strategi pembelajaran. Menurutnya, program yang dilaksanakan INOVASI mendukung guru untuk kreatif dalam melahirkan strategi pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa.
“Guru dituntut untuk membuat metode belajar yang menyenangkan sebab siswa tidak akan kreatif jika gurunya tak kreatif. Melalui program INOVASI, guru dituntut untuk mencari solusi di kelasnya. Jadi guru yang cari solusinya bukan siswanya,” kata pria asal Kopang ini.
Persoalan lain yang dijumpai menurut Ahmad adalah kurangnya pengalaman dalam menangani masalah terkait ABK. “Di gugus itu ada namanya KKG (Kelompok Kerja Guru). Melalui wadah ini dibedah persoalan yang dihadapi setiap sekolah atau pun guru. Bagi sekolah yang memiliki siswa ABK, kita (Fasda) berikan ilmunya di kegiatan KKG,” ungkapnya.
Dia menyadari pemahaman guru tentang ABK masih kurang. Banyak guru cenderung menganggap strategi pembelajaran terhadap siswa ABK dengan siswa reguler adalah sama. Padahal seharusnya harus dibedakan atau dikhususkan. Baik itu dibedakan materi pendidikannya maupun perlakuannya. “Contohnya saat mid semester ataupun ujian sekolah, materi tidak boleh disamakan akan tetapi lebih disederhanakan materinya. Makanya di dinas akan diberdayakan KKG untuk penanganan ABK baik itu literasinya maupun numerasinya,” jelasnya.
Terkait dengan sarana prasarana untuk pendidikan inklusif, Ahmad menilai masih sangat kurang. Sampai saat ini baru 4 sekolah yang sudah dilengkapi ruang sumber (ruang khusus bagi ABK). Hal ini terjadi karena keterbatasan anggaran. Disamping itu pula media pembelajaran juga masih kurang, karena itu guru dituntut untuk kreatif dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. “Tak perlu barang mewah tetapi barang bekas juga bisa dijadikan media pembelajaran. Big book (media buku besar yang berisikan kalimat sederhana disertai ilustrasi) juga mudah dipahami oleh siswa ABK, yang penting bisa menjembatani kebutuhan belajar ABK,” jelasnya.
Jika alasan orangtua tidak menyekolahkan anaknya karena SLB jauh, dengan pendidikan inklusif ABK dapat menempuh pendidikan di sekolah dasar terdekat. Hanya saja tidak semua sekolah sudah di SK-kan sebagai sekolah penyelenggara oleh dinas.
“Bayangkan saja di Kecamatan Kopang sendiri dari 9 sekolah baru 5 sekolah sudah di SK-kan. Sementara yang menjadi sekolah dampingan INOVASI baru 1 sekolah yakni SDN Presak, Desa Bebuak. Sebenarnya sudah banyak sekolah yang mengajukan termasuk SDN Embung Karung Desa Montong Gamang yang memiliki 15 siswa ABK,” jelasnya.
Secara keseluruhan SD di Kabupaten Lombok Tengah berjumlah 598, tetapi hanya 120 sekolah yang sudah di SK kan oleh Dinas sebagai sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Sementara sekolah mitra INOVASI berjumlah 19 sekolah termasuk diantaranya 3 Madrasah Ibtidaiyah. Jadi diharapkan sisanya dapat dikelola oleh pemerintah daerah.
“Kami berharap kepada INOVASI untuk terus mengembangkan sekolah rintisan ini dan pemda juga tetap kosisten untuk menjalankan peta jalan (road map) pendidikan yang sudah direncanakan,” ungkapnya.
Keberlanjutan program yang sudah dirintis oleh INOVASI di masa yang akan datang menjadi buah pikirannya dan Fasda lainnya.
“Saya dan teman-teman guru berharap agar program ini terus dilanjutkan oleh Pemda Lombok Tengah khususnya dan pemerintah pusat pada umumnya. Kami rasakan luar biasa output yang dihasilkannya,” kata mantan Kepala SDN itu.
Oleh karena itu road map atau peta jalan pendidikan Kabupaten Lombok Tengah dapat disepakati antara pemerintah daerah dan eksekutif serta stakeholder lainnya. Dengan demikian program yang sudah dirintis oleh INOVASI tetap dilaksanakan oleh pemerintah daerah sehingga ke depan ada atau tidak adanya INOVASI program akan tetap berjalan sesuai dengan harapan.
“Kita berharap pemda juga memperkuat kelembagaan Fasda, baik Fasda Guru BAIK maupun SETARA agar ada mekanisme dan keberlanjutan dari tugas Fasda,” pungkasnya.