Pengadaan.web.id - Pemberlakuan tindak pidana korupsi atas kontrak kerja konstruksi antara pemerintah sebagai pengguna jasa dengan pelaksana konstruksi sebagai penyedia jasa dirasa tidak adil dan berlebihan.
Pemberlakuan undang-undang yang dimaksud adalah pasal 2 dan 3 Undang-undang no. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang diubah menjadi UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Hal itu diungkapkan oleh Marthen Hengky Toelle dalam ujian doktornya dengan disertasi berjudul ‘Tindak Pidana Korupsi dalam Kontrak Kerja Konstruksi antara Pemerintah sebagai Pengguna Jasa dengan Penyedia Jasa Pelaksana Konstruksi’. Dalam disertasinya itu, Marthe H Toelle SH, MH telah memberi perspektif lain terkait permasalahan hukum kontraktor pemenang lelang proyek pemerintah..
“Praktik penerapan UU Tipikor, khususnya pasal 2 dan 3, kepada penyedia jasa konstruksi menjadi kegelisahan bagi saya. Sementara, di dalam undang-undang jasa konstruksi diatur tentang hal-hal mengenai kontrak. Sehingga, seolah-olah kontrak itu sesuatu yang bisa diasumsikan kesepakatan jahat. Nah, itu berbahaya. Apakah benar seperti itu,” tutur Marthen.
Soal revisi UU, Marthe mengatakan tidak perlu yang ada direvisi, hanya penerapan pasal 2 dan 3 UU Tipikor saja harus lebih bijak dalam penerapannya, terlebih dalam kasus proyek lelang kontruksi.
Disertasi yang diuji dalam ujian terbuka gelar doktor Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu menegaskan, saat ini kasus-kasus yang diangkat para penegak hukum soal pelaksanaan pengerjaan proyek sesuai Undang-undang nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi tidak bisa dijerat pidana, melainkan hanya cedera janji atau wanprestasi. Sehingga hanya bisa dijeratkan dengan pasal perdata.
“Kontraktor pemenang lelang apabila berhadapan dengan kasus pengerjaan kontruksi hanya bisa dibenturkan dengan perhitungan kerugian yang selanjutnya harus dibayar, bukan dipidana,” tegas Marthe H Toelle.
“Dalam kontrak, seandainya pihak pelaksana konstruksi itu tidak memenuhi kewajiban, penyedia jasa kan, harus mengganti kerugian. Seperti contohnya, pekerjaannya tidak sesuai mutu. Pekerjaannya tidak sesuai mutu, misalnya, besi yang digunkan untuk membangun jembatan berukuran 18, tapi yang dipakai hanya 10. Dihitung aja kekurangannya. Uang negara itu juga dikembalikan, tapi tidak serta merta dibilang niatnya jahat,” tutur Marthen.
Marthen bahkan menegaskan, dengan adanya pemberlakuan pasal 2 dan 3 UU Tipikor dalam jasa konstruksi membuat sejumlah pihak merasa takut untuk menjadi penguasa anggaran (PA).
“Kita tidak bisa mengasumsikan ada niat jahat dalam kontrak. Kontrak kok berniat jahat. Kita harus berpikir positif karena kita orang hukum. Nah, itu banyak korban sekarang. Bahkan ekses yang lain akibat penerapan pasal 2 itu, adalah sekarang itu SILPA (sisa lebih penggunaan anggaran) makin tinggi. Orang takut untuk menjadi panitia. Orang takut untuk menjadi tipikor. Orang takut untuk menjadi pengguna anggaran. Bahkan secara nasional pun SILPA-nya tinggi sekali,” tegas Marthen.
Marthe mengatakan, apabila aparat penegak hukum selalu menggunakan UU nomor 31 tahun 1999 dan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi untuk menjerat para kontraktor dan Pegawai Negeri Sipil (PNS), ditakutkan bakal tidak ada PNS dan kontraktor yang mau mengurusi program pemerintah soal ini.
"Sedangkan pemerintah dituntut untuk selalu melanjutkan progam pembangunan. Lalu siapa yang bakal mengurusi hal ini. Sudah capek-capek menjalankan tugas dan program pemerintah, nantinya PNS tersebut dipenjara,” ujarnya.
Namun, ia tak menampik bahwa pemikirannya ini cukup banyak diperdebatkan dalam proses ujian sidang. Karena perjanjian kontrak dengan pemerintah akan melibatkan keuangan negara. Para penguji mempertanyakan, bahwa keuangan negara sendiri merupakan unsur korupsi.
“Yang banyak (diperdebatkan, -red) adalah keuangan negara. Seolah-olah karena ada keuangan negara, makanya masuk korupsi. Bagi saya, unsur korupsi kan, bukan hanya keuangan negara. Kalau dalam kontrak, ada kerugian negara, ya, ganti rugi kan bisa juga. Hanya saja ada logika, kalau itu ada keuangan negara berarti korupsi. Ini yang saya katakan, saya tidak sependapat,” tutur pria kelahiran Baa-Rote, 19 Maret 1953 itu.