Pengadaan.web.id - Banyaknya kasus korupsi dalam sektor Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah telah menarik salah seorang pemerhati pengadaan, Bpk. Khalid Mustafa. Beliau mendalami berbagai berita acara dan diskusi selama proses pemeriksaan serta peradilan yang pada akhirnya menarik kesimpulan ada 3 hal yang menjadi penyebab seseorang tersandung pada Tindak pidana korupsi (tipikor) khususnya dalam bidang pengadaan barang/jasa pemerintah.
Bagi Anda yang merupakan pejabat negara, pelayan masyarakat, baik mulai dari PNS, Pejabat eksekutif, legislatif, judikatif, dan Aparat Penegak Hukum atau bahkan LSM, dan yang lainnya, juga para pelaksana PBJ mulai dari PA/KPA, PPK, ULP dan PPHP wajib membaca 3 hal penyebab seseorang bisa menjadi terpidana kasus pengadaan barang/jasa. Sebelum Anda menyesal, luruskan niat dan baca 3 hal penyebab terseret di jeruji besi pada kasus pengadaan sebagai berikut.
1. Kelompok yang Memang Memiliki Niatan Jahat
Kelompok ini adalah kelompok yang paling membuat ulah dan masalah. Dalam pikiran mereka adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa mempedulikan lagi yang benar dan yang salah.
Setiap jabatan maupun kesempatan yang dimiliki dianggap sebagai sebuah peluang untuk menambah pundi-pundi kekayaan mereka. Seribu satu cara licik mereka gunakan untuk mengakali hukum dan aparat penegak hukum.
Apabila mereka adalah anggota legislatif, maka kekuasaan legislatif yang mereka miliki, khususnya hak budgeting akan digunakan untuk memuaskan nafsu serakah mereka terhadap harta. Memasukkan usulan anggaran “siluman,” memalsukan kebutuhan masyarakat, memalsukan proposal untuk bantuan sosial, menekan eksekutif untuk memenangkan perusahaan yang berada di bawah kendali mereka, memeras pengusaha jujur untuk memberikan upeti, melobi berbagai pihak untuk meningkatkan kapasitas yang nantinya akan diklaim sebagai keberhasilan mereka yang harus dibarter dengan memenuhi kepentingan jahat mereka, dan berbagai modus lain yang dapat mereka lakukan.
Apabila mereka adalah anggota eksekutif, maka kekuasan negara yang mereka miliki dibelokkan untuk memenuhi keinginan hawa nafsu atas harta benda dan kekayaan yang tak pernah terpuaskan. Menggelapkan aturan perundang-undangan dengan prinsip kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah dan nantinya untuk mempermudah mereka minta “biaya” tertentu sebagai pelicin, memerintahkan anak buah untuk mengatur dan mengotak atik pengadaan dan persyaratan lelang, memeras pengusaha yang jujur dengan berbagai alasan supaya dapat menerima suap dan gratifikasi, menggelapkan proposal swakelola dengan memasukkan unsur keluarga dan nepotisme di dalamnya, serta berbagai akal bulus lainnya.
Apabila mereka adalah anggota yudikatif, maka kekuasaan kehakiman yang berada di tangan mereka digunakan untuk memeras para pihak yang berkasus dalam bidang PBJ untuk mengubah putusan dan menjual hukuman pidana. Belum lagi kroni-kroni mereka yang menjadi pengusaha maupun pengacara digunakan untuk mencari-cari kesalahan dan memeras kesana kemari.
Apabila mereka adalah Pengusaha, maka berlaku hukum “Keuangan yang maha kuasa.” Dengan fasilitas dan dana yang melimpah, mereka mencoba untuk menambah lagi uang mereka yang kadang sudah tidak berseri dengan cara-cara yang tidak benar. Sogokan, suapan, gratifikasi, ancaman, pemerasan, menjadi makanan sehari-hari untuk memenuhi hawa nafsu mereka terhadap harta yang hanya bisa dihentikan dengan segumpal tanah.
Apabila mereka adalah Aparat Penegak Hukum, maka kekuasaan penegakan hukum ditangan mereka digunakan untuk mencari-cari kesalahan pelaku pengadaan yang nantinya ditukar dengan janji tidak dilanjutkannya penyelidikan maupun penyidikan. Laporan “angin lalu” ditelusuri, kalau tidak ada laporan, maka mencari-cari informasi yang kadang hanya selentingan berita. Salah pengumuman lelang bisa menjadi sebuah kesalahan yang setara dengan pidana mati. Surat panggilan diobral yang nantinya berhenti hanya dengan beberapa lembar kertas berwarna merah.
Mereka ini adalah kelompok yang pantas untuk dipidana seberat-beratnya.
2. Menjadi Terpidana Karena Perintah Atasan
Kelompok ini terbanyak berada pada lingkup Pegawai Negeri Sipil, Pegawai BUMN/D, maupun pegawai swasta. Ancaman mutasi ke daerah terpencil, kehilangan jabatan, dikucilkan dari pergaulan, kehilangan tunjangan, dipecat dari pegawai, menjadi senjata ampuh untuk mengendalikan mereka.
Mereka bagaikan kerbau yang dicocok hidungnya dan diarahkan kesana kemari oleh atasannya. Mata mereka dibutakan oleh iming-iming jabatan, kesempatan, harta, maupun kepastian nasib yang dijanjikan oleh orang yang sebenarnya sama mayanya dengan mereka juga.
Patgulipat lelang, persyaratan yang aneh bin ajaib (termasuk membuat pagar keliling kantor senilai 600 juta, minta 10 orang bersertifikat SKA dan 15 orang bersertifikat SKT), jadwal yang simsalabim (pengumuman hanya 1 hari), dokumen yang berasal dari sumber antah berantah, menjadi makanan mereka sehari-hari.
Tidak kurang dari mereka yang berpendidikan setinggi langit dengan gelar yang jauh lebih panjang dari namanya, pengalaman puluhan tahun, sertifikat yang kalau dijilid bisa mengalahkan novel Harry Potter, dan jam terbang dalam pengadaan yang mengalahkan pilot yang profesional. Namun hal itu hanya menjadi abu di atas kaca yang mudah dihilangkan dengan sapuan janji-janji.
Mereka tahu itu salah, tetapi tidak memiliki (kemauan) kemampuan untuk menghindari.
Mereka ini adalah orang-orang yang patut dikasihani, karena sebenarnya mereka adalah tameng atau korban dari golongan pertama. Mereka inilah sandal jepit yang diinjak-injak setiap hari untuk melindungi kaki-kaki durjana yang menginjak-injak kebenaran.
3. Tidak tahu karena tidak belajar
Yang terparah adalah, banyak yang tidak tahu bahwa mereka tidak tahu.
Saat disampaikan informasi, mereka tutup telinga karena (mungkin) yang menyampaikan berada di bawah level mereka. Atau menganggap itu tidak penting. Namun, saat terkena musibah, barulah terlihat wajah melongo mereka. Tatapan memelas, mata yang merah berair, raut penyesalan karena tidak belajar, bahasa tubuh lemas karena pasrah adalah tanda-tanda umum saat bertemu dengan kelompok ini.
Ucapan “saya baru tahu pak,” “kalau tahu begini saya tidak mau jadi PPK,” “kok tidak disampaikan sebelumnya,” dan “saya menyesal baru tahu sekarang,” adalah kalimat-kalimat umum yang mereka sampaikan saat menjadi terperiksa, tersangka, terdakwa, dan bahkan saat jadi terpidana.
Mereka lupa bahwa yang namanya belajar dan mencari tahu adalah fitrah manusia. Setiap jabatan, tindakan, perbuatan pasti ada ilmu dan pengetahuannya. Menjadi seorang PA/KPA, PPK, ULP, PPHP, Bendahara, Pengusaha, Anggota DPR/DPRD, APH, dll pasti membutuhkan pengetahuan yang spesifik. Pasti ada rambu-rambu yang mana boleh, tidak boleh, wajar, tidak wajar, wajib, sunnah, mubah, dll dll yang harus diketahui.
Jabatan adalah amanah yang harus dijaga. Untuk menjaganya, butuh segenap kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki, bukan sekedar dijadikan dasar untuk memperoleh keuntungan.
Belajar tidak mengenal usia, waktu, kesempatan, dan alasan. Segala yang ada di sekeliling kita adalah ilmu pengetahuan yang hanya dibatasi oleh keinginan.
Untuk golongan ini, jadikan setiap kesempatan untuk terus belajar. Bahkan, kalau sudah terlanjur terperosok, maka itu merupakan pembelajaran yang paling berharga. Bukankah pengalaman adalah guru yang paling berharga khan?.
Sumber: Khalidmustafa.info