Lombok Tengah, sasambonews.com- Perang dimaknai sebuah pertempuran antar kelompomk satu dengan kelompok lain atau Negara satu dengan Negara lain. Namun dalam Perang Timbung, Makna perang bukan arti sesungguhnya. Perang yang dimaksudkan disini adalah sebuah ritual yang ditradisikan oleh masyarakat sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah SWT atas melimpahnya hasil pertanian pada waktu itu. Bukan berarti peran yang sesungguhnya menggunakan senjata baik tradisional maupun senjata modern. Karena itu media yang dilakukan untuk memaknai perang itu adalah padi ketan yang diolah menjadi makanan yang enak. Terkadang ketan tersebut dibakar menggunakan Bambu yang disebut Timbung walaupun ada juga yang meresbusnya di Dandang.
Di dalam masyarakat Pejanggik, Perang Timbung dimaknai sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah SWT atas kesuburan tanah dan hasil panen pertanian yang melimpah. Cara mensyukurinya adalah dengan membuat sesajian berupa makanan dan timbung yang dihasilkan dari lahan pertanian dan menaburkannya ke tanah. Hanya saja belakangan masyarakat merubah makna perang itu dengan saling lempar menggunakan timbung tersebut. Awalnya ritual ini berjalan alami dan masih sakral dimana perang hanya menggunakan Ketan, akan tetapi makna perang Timbung yang sesungguhnya ternodai oleh ulah oknum masyarakat yang menggunakan benda keras seperti kayu, buah randu bahkan juga tidak sedikit yang menggunakan batu. Hal ini diakui oleh Kepala Desa Pejanggik Kecamatan Praya Tengah. “Ya memang kita akui ada oknum masyarakat yang menggunakan batu, namun yakinlah ada pengamanan sekarang baik dari BKD maupun kepolisian dan Babinsa” ungkapnya di kantor Bupati sebelum pelaksanaan Perang Timbung dilakukan.
Perang Timbung dilakukan setiap bulan agustus atau bulan 4 penanggalan sasak disertai dengan berbunganya pohon Dangah yang ada di Makam Serewa. Tradisi Perang Timbung diikuti oleh seluruh masyarakat Desa Pejanggik dari seluruh kekadusan yang ada. Sebelum perang timbung terlebih dahulu dilakukan ritual oleh sesepuh atau oleh pemangku adat dengan mengambil air suci disebuah sumur tua dan memandikan benda benda pusaka peninggalan di sebuah sumur yang hingga saat ini belum pernah kering dimusim apapun.
Keesokan harinya perang dilakukan di Makam Pejanggik. Timbul pertanyaan kenapa harus dimakam Pejanggik?, banyak versi berpendapat ada yang mengatakan ditempat itulah Raja Pejanggik melakukan ritual tersebut, ada juga yang mengatakan bahwa di tempat itulah makamnya dan menghilangnya Raja Pejanggik Pemban Mas Meraja Kusuma meskipun hingga saat ini belum ada yang membuktikan kalau Makam Raja besar di Lombok itu ada di Serewa.
“Tidak ada yang tahu dimana makam Raja Pejanggik sesungguhnya, namun ada masyarakat atau nenek moyang kita mengatakan di Serewa pernah dilihat dan menghilang ditempat itu pada saat terjadinya perang dahulu sehingga karena menghilang di tempat itu maka masyarakat menganggapnya meninggal ditempat itu” jelasnya.
Sayang kata Kades tradisi masyarakat ini tidak mendapatkan apresiasi dari pemerintah daerah berupa menjadikannya sebagai agenda tahunan sehingga ada penganggaran yang pasti sementara sekarang ini masih mengadalkan suwadaya dari masyarakat.
Kades mengatakan meskipun kegiatan ini tidak dimasukkan dalam agenda Rutin namun masyarakat tetap antusias melaksanakannya setiap tahun. “Ada tidak adanya dana dari pemerintah, perang Timbung ini tetap dilaksanakan oleh masyarakat meskipun swadaya, harusnya pemerintah menjadikan ritual ini sebagai agenda tahunan, sayang masih dianggap sebelah mata” jelasnya.
Pelaksanaan perang Timbung memang cukup merepotkan aparat kepolisian, maklum ribuan orang berjubel di Makam Serewa yang terletak di jalur lintas Kabupaten tersebut. Kemacetanpun terjadi, Polisi harus melakukan sistim buka tutup agar distribusi kendaraan berjalan meskipun merayap. Seremonial perang timbung memang berlangsung singkat sekitar dua jam meski demikian aparat kepolisian cukup kerepotan mengatur arus lalulintas di jalur yang terkenal cukup padat itu.
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Tengah H.L.Putria mengatakan Tradisi perang Timbung ini harus terus dipertahankan sebagai sebuah khasanah budaya. Perang Timbung ini memiliki nilai budaya dan religi tinggi oleh karena itu kearifan lokal seperti perang timbung ini harus tetap dibudayakan dan dilsetarikan. Ke depan pemerintah akan menjadikan Perang Timbung sebagai agenda rutin pemda Lombok Tengah dengan demikian tradisi ini akan lebih meriah. Tidak hanya itu pelataran makam juga akan ditata sedemikian rupa sehingga terlihat lebih baik. “Kita akan buatkan koral sikat di pelataran makam agar lebih indah kelihatannya” kata Kadis di Makam Serewa Jumat 25/8.
Pertanyaannya, apakah boleh lokasi perang timbung dilakukan di tempat yang lebih luas dan tidak mengganggu arus transportasi. Apakah kalau dipindah akan mempengaruhi nilai historis dari Perang Timbung atau tidak. Kalau tidak boleh dong dipindahkan ?.
Menjawab pertanyaan itu salah satu keturunan Raja Pejanggik Maspanji L.Satriawangsa mengatakan pelaksanaan perang timbung bisa saja dilakukan di luar makam Serewa namun untuk zikir dan doa tetap dilakukan didalam Makam. “Kalau tetua tetua kita di Pejanggik sepakat, kenapa tidak, bisa kok dipindah khusus ritual perangnya yang penting tidak jauh dari Makam namun kalau zikir tetap di dalam Makam sebab selain untuk mendoakan arwah leluhur” jelasnya.
Disamping itupula ada kepercayaan masyarakat yang tetap dilestarikan dan dijaga yakni kepercayaan mendapatkan jodoh sehingga saat itu para pemuda pemuda kerajaan mencari jodoh ditempat itu dengan saling melemparkan ketan atau Timbung sehingga sekarang didalam makam tersebut terdapat sumur kecil berdiameter 100 cm dengan kedalaman kurang dari semester. “Pemuda zaman itu menyakini kalau tangannya menyentuh tanah maka apa yang dihajatkan akan terkabul, dan sampai sekarang masih diyakini itu, tetapi yang paling esensial dari kegiatan itu adalah slaturahmi dan hiburan bagi anak anak muda zaman itu” jelasnya.
Pemangku Datu L.Satriawangsa menambahkan kegiatan ini adalah untuk menjadikannya sebagai ajang silaturahmi dan mengenang para leluhur atau nenek moyang pada zaman Kerajaan Pejanggik lebih lebih dengan kegiatan ini akan mebangkitkan semangat untuk membangun dan melestarikan khasanah budaya dan kearifan lokal yang ada.
Sebenarnya menurut L.Satriawangsa, yang dimakam Serewa itu bukanlah makam Datu Pejanggik namun yang dimakamkan ditempat itu adalah ayahanda dari Datu Pejanggik yang bergelar Pemban Meraja Bumi. Sementara Raja Pejanggik mengungsi ke Kedatuan Purwadadi sebelum ke Sumbawa. “Saat itu Bali melakukan eksepidisi ke Lombok sekitar tahun 1720 dengan memerangi raja raja di Lombok salah satunya adalah Kerajaan Pejanggik” jelasnya.
Kedepan sebagai pemangku Datu dirinya berharap akan dapat menemukan datu yang definitif yang akan menjadi symbol kedatuan ditempat itu, tentunya mereka yang peduli dengan Pejanggik. “Entah siapa nanti yang menjadi datu definitive, setelah ditemukan tentu akan di nobatkan namun untuk mencarinya bukan perkara gampang” jelasnya. Am