Foto: Dok, Prib Frans B/KM |
OPINI, KABARMAPEGAA.COM – Setiap gerakan menjadi wujud nyata agar hidup manusia boleh hidup. Aktivitas kita merujuk pada hidup itu sendiri. Tanpa gerakan hidup kita tak berarti. Setiap manusia mesti hidup, melalui gerakan yang digerakan oleh kita sendiri yang bersumber dari akal budi.
Allah, sumber akal budi manusia mengerakkan setiap insan melalui warisan hidup. Manusia bertugas memilih dan mengerakkan hidup, apakah gerakan yang menguntungkan kita atau kah yang merugikan. Hidup, menjadi mati atau beku ditangan kita sendiri.
Sikap seseorang bertugas bertangungjawab atas perbuatannya. Sebab, hidup menjadi gerakan yang dapat menghidupkan diri dan lingkungan sekitar kita. Hidup kita ditentukan oleh hidup itu. Bisa membahagia dan bisa membawa petaka. Seiring dinamika hidup yang semakin gencar, hidup kita semakin tidak hidup. Lebih memilih sandiwara hidup sekedar. Lapar, sakit, duka, derita, miskin, kecewa, dengki, iri hati, marah, sedih, adalah makna hidup.
Makna hidup akan mengantarkan setiap insan pada kepemenuhan hidup. Setiap manusia tidak mampu mengabaikan situasi diatas. Sebab itu adalah bagian dari penderitaan dan kegembiraan. Resiko hidup mesti dipikul sebagai rangkaian dinamika hidup. Untuk itulah hidup itu diadakan oleh Sang Khalik, dan dipertangungjawabkan kepada-Nya pula melalui hidup itu.
Setiap kita, ditugaskan agar hidup itu dihidup dan saling menghidupkan sesama, tanpa memandang latar belakang. Kini, hidup kita dipompingkan oleh gerakan yang mematikan hidup. Sadar, tidak sadar kita saling mematikan hidup. Maklum, namanya dunia yang penuh dusta. Kebanyakan kita menari diatas perampasan hak hidup orang.
Status hidup kita menguasai kelayakan hidup sesama kita. Tindakan setiap kita disetiap hari dalam setiap gerakan hidup hak hidup dimanfaatkan demi hidup pribadi. Dunia fanah, tak mampu melewati yang transenden. Seluruh gerakan hidup kita digenggam dalam tangan kuasa. tak seorangpun berada diluar genggaman. Kita bagai sebutir pasir dilaut. maka pilihan kita hanyalah mengabadikan hidup didunia.
Suatu hari seseorang kepada si kaya, ia terkenal karena harta kekayaan. ia selalu disebut-sebut sebagai tokoh dlm memegang kekayaan. Setiap orang bersujud. Ketika si pemuda bertemu si kaya, si pemuda minta resep untuk menjadi "kaya" si orang kaya berbalik dan ambil sikop dan parang, kapak menyerahkan kepada si pemuda seraya berkaya"alat ini kamu pakai untuk kerja dan dalam alat ini ada kekayaan" dan suatu kelak akan menjadi kaya".
Lanjut berkata si kaya kepada si pemuda, hidupmu akan hidup jika kamu percaya kepada Tuhan (beriman), sehat, pintar, kenyang. Maka dalam dirimu akan tercipta daya semangat hidup yang menguntungkan dirimu dan sesamamu yg merasakan sebagian dari usahamu.
Disanalah akan tercipta "syallom" ayi muka-muka. Jika kita saling menghidupkan atas dasar asas kebersamaan hidup yang dilandasi hukum Allah, hukum Alam, hukum Adat, hukum Pemerintah (A3P) maka, terlihatlah suatu suasana penuh kedamaian. Dimana kondisi itu betul hidup oleh karena situasi yang saling menghidupkan tanpa dililit oleh kantungan kepentingan sesaat.
Menempatkan sesama yang lain memiliki hak hidup yg sama. Sebagai manusia, tidak lepas dari perasaan yang satu dan sama. Untuk itulah hidup itu dianugrahi oleh Sang Esa. Hidup manusia dipagari oleh pagar agar membatasi diri atas kejahatan sikap setiap orang. Empat lapis pagar memagari hidup manusia. Pagar lapisan pertama adalah pagar Allah, pagar lapisan kedua adalah pagar Alam, pagar lapisan ketiga adalah pagar adat, dan pagar lapisan keempat adalah pagar Pemerintah. Pastilah orang bertanya tentang pagar alam.
Sebab orang mengenalnya 3 pagar. Memang sesuatu yg baru didengar tetapi pagar itu tdk disebut-sebut oleh manusia sebagai pagar. Tetapi selalu disebut untuk membangun hubungan. Komunitas manusia terdiri dari beragam kelompok. Beda sikap, perilaku dan karakter. Singkatnya sekalipun sekembaran tapi beda sikap. Menghidup manusia yang beragam ini membutuhkan Konsep pikiran kita.
Menurut hemat saya, membangun manusia membutuhkan pagar 4 lapis, sebagaimana telah dijelaskan diatas. Jika kita memagari manusia, maka mesti lakukan dan mewujudkan mereka memiliki hubungan intim dengan Allah (beriman), mereka harus kerja agar mereka tidak lapar (kenyang), membina mereka agar membina menjadi pintar mulai dari basis hingga mengantarkan mereka pada perguruan (pintar).
Dengan kepintaran mereka bisa menjaga kesehatan mereka (sehat), sehingga hidup itu bermakna bagi kemulian Allah. (Muyepimo/KM)
* Penulis adalah Toko Intelektual Mee yang Kini Sedang Menjabat sebagai Kepala Distrik Tigi Barat